In CamPuz,,

Minggu, 23 Januari 2011


Suasana Kampuz semester akhir gedung B2,, TUmben hari Itu sepi,, Dosen ga datanG, jadi Just foto2.
Read More..

Kajian Kritis

Jumat, 21 Januari 2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemahaman yang diberikan terhadap suatu teks menjadi variatif apabila teks itu ditinjau dari sudut pandang yang berbeda.Pemahaman menjadi lebih kaya lagi apabila ditinjau oleh pembaca dengan latar belakang yang berbeda pula. Sebuah teks dapat menjadi bermakna bagi sesorang tetapi belum tentu bermakna bagi orang lain. Di sinilah dibutuhkan sebuah kajian mendalam tentang suatu teks untuk mengungkap berbagai makna yang terkandung di dalamnya.

Eriyanto (2003:87) mengemukakan bahwa pembaca dan teks secara bersama-sama mempunyai andil yang sama dalam memproduksi pemaknaan, dan hubungan itu menempatkan seseorang sebagai suatu bagian dari hubungannya dengan sistem tata nilai yang lebih besar di mana dia hidup dalam masyarakat. Pernyataan ini semakin menguatkan bahwa posisi pembaca menempati tempat yang sangat penting dalam pemaknaan suatu teks.
Dua hal di atas, yaitu teks dan pembaca mempengaruhi kedalaman informasi yang dapat digali dari suatu teks. Untuk itu keduanya perlu dicermati lebih lanjut agar tujuan akhir pembaca dalam menelusuri huruf demi huruf dapat dicapai.
Idealnya, seluruh ide yang disampaikan oleh penulisnya dapat tiba pada pembaca sesuai keinginan penulisnya, tetapi hal ini tidaklah mungkin dapat dicapai sebab skemata yang dimiliki oleh pembaca pastilah berbeda dengan skemata yang dimiliki oleh penulis. Makna suatu teks dipengaruhi oleh skemata tersebut. Pemaknaan yang diberikan oleh pembaca dapat saja jauh melampaui pemaknaan yang diberikan oleh penulis. Agar tidak terlalu jauh menyimpang antara keduanya, dibutuhkan suatu strategi khusus sehingga keduanya dapat terjembatani
Karakteristik teks yang ada dapat pula menciptakan jurang pemahaman antara pembaca dan penulis. Teks yang disajikan secara deduktif dan yang disajikan secara induktif memiliki perbedaan mencolok dalam penyajiannya. Dibutuhkan cara yang berbeda dalam pemahamannya. Selain itu, teks yang disajikan secara argumentatif, eksploratif, naratif, deskriptif, atau persuasif menuntut tingkat perhatian yang berbeda.
Selain faktor pembaca dan cara penyajian teks, satu hal penting lagi yang turut memengaruhi tingkat pemahaman terhadap suatu teks, yaitu pesan/isi yang disajikan. Lingkup materi teks dapat menuntut perhatian yang berbeda dalam pemahaman isi teks. Dua persoalan utama yang berkenaan dengan isi teks, yaitu teks tersebut menguraikan bidang teoretis ataukah terapan. Umumnya, teks teoretis menuntut perhatian yang lebih cermat dibanding teks terapan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya istilah teknis yang digunakan untuk mengurai teks yang bersifat teoretis dan biasanya istilah itu hanya dapat dipahami dengan baik oleh mereka yang berkecimpung dalam bidang keilmuan tersebut.
Penguraian di atas menunjukkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang menentukan tingkat pemahaman pembaca terhadap suatu teks. Bilamana faktor-faktor tersebut diabaikan, maksimalisasi pemahaman isi teks tidak akan diperoleh. Untuk itu, dibutuhkan pelatihan khusus untuk memperoleh pemahaman teks tersebut secara utuh.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengasah keterampilan untuk memahami isi suatu teks adalah dengan berlatih menerapkan kajian kritis. Telaah kajian kritis di Indonesia masih langka ditemukan. Yang ada barulah kajian yang disebut dengan analisis wacana kritis. Pendekatan ini lebih bersifat kajian isi wacana yang mempengaruhi komunitas luas dalam bertindak dan berpikir. Dalam bidang kewacanaan, analisis wacana kritis dikembangkan oleh sejumlah ahli, yaitu Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan Louis Althusser. Pengkajian dengan pendekatan tersebut memiliki tujuan yang tidak persis sama dengan yang dimaksudkan dalam tulisan ini.
Kajian kritis yang dimaksudkan dalam tulisan ini mengarah ke kajian yang bersifat praktis, kajian isi wacana untuk memahami isinya yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menuliskan suatu gagasan ilmiah berupa pengembangan teori dalam suatu penelitian atau penulisan artikel. Tujuannya agar pembaca dalam hal ini guru dapat menggunakan sejumlah sumber informasi untuk menjadi rujukan dalam menghasilkan suatu karya tulis ilmiah.
Salah satu program yang membutuhkan kajian kritis yang saat ini sedang diluncurkan oleh pemerintah adalah program BERMUTU (Better Education Reform through Univesal Teacher Upgrading). Program ini merupakan salah satu upaya untuk peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh. Jaringan pemandunya telah disediakan sejak dua tahun terakhir ini. Pada tingkat pusat dikenal adalan NCT (National Core Team), pada tingkat provinsi tersedia PCT (provincial Core Team), dan pada tingkat kabupaten tersedia DCT (District Core Team). Mereka berkolaborasi memicu peningkatan kualitas pendidikan melalu program KKG dan MGMP.
Terpilihnya KKG dan MGMP sebagai tempat pelaksanaan program karena organisasi inilah yang paling dekat dengan guru dan paling luas cakupannya yang menghimpun guru dalam pembahasan persoalan pembelajaran di sekolah. KKG dan MGMP selama ini mendapat perhatian yang besar oleh berbagai pihak. PMPTK, Dinas pendidikan provinsi/kabupaten, dan sejumlah LSM memberi perhatian yang banyak terhadap revitalisasi peran KKG dan MGMP sebagai ajang dalam memajukan pendidikan termasuk peningkatan kualifikasi guru.
Ciri utama program bermutu adalah penggunaan pendekatan Lesson Study, PTK dan Studi Kasus secara terintegrasi dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran. Ketiga pendekatan ini membutuhkan kajian kritis. Lesson study membutuhkan kajian kritis dalam rangka memperkaya sumber untuk penyelesaian sejumlah permasalahan yang dikemukakan dalam forum diskusi guru. PTK membutuhkan kajian kritis dalam rangka pengembangan kajian teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam menjawab pertanyaan penelitian. Studi kasus membutuhkan kajian kritis dalam rangka pengembangan permasalahan yang dialami guru dalam pembelajaran. Melalui kajian kritis guru dapat membentangkan perbandingan antara pengalaman yang telah dialaminya dengan pengalaman yang telah dialami oleh orang lain melalui tulisan yang dihasilkannya. Kajian kritis dapat mempertemukan sejumlah gagasan orang yang daripadanya dapat menjadi pijakan dalam penulisan dan penyelesaian kasus yang ditemukan guru.
Dari penguraian di atas jelaslah bahwa kemampuan guru melakukan kajian kritis akan memberikan konstribusi yang besar dalam menyusun proposal dan laporan PTK. Modul suplemen ini dimaksudkan untuk membantu guru secara umum dan guru bahasa Indonesia secara khusus dalam mengembangkan kemampuan membaca dan selanjutnya diharapkan dapat mengasilkan tulisan ilmiah yang akurat dan tepercaya sebagai salah satu kegiatan pengembangan profesi.

1.2 Alokasi Waktu
Ada pun alokasi waktu yang diberikan dalam materi diklat kajian kritis untuk perserta program KKG dan MGM BERMUTU adalah 6 x 50 Menit

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan kajian kritis dalam bentuk modul suplemen untuk KKG dan MGMP sebagai berikut.
1. Memberikan pemahaman tentang konsep kajian kritis.
2. Menguraikan tentang manfaat melakukan kajian kritis
3. Memberikan tips dan kiat melakukan kajian kritis
4. Memberikan keterampilan menuliskan laporan dari hasil kajian kritis
5. Memanfaatkan hasil kajian kritis dalam penulisan kajian teori dalam PTK dan penulisan artikel.

1.4 Sasaran
Sasaran modul suplemen ini adalah peserta diklat BERMUTU yang dilaksanakan di berbagai wilayah di tanah air, meliputi:
• Guru SD dan SMP yang terlibat dalam kegiatan Program BERMUTU
• Kepala Sekolah dan Pengawas sekolah yang terlibat dalam kegiatan Program BERMUTU
• PCT dan NCT dalam Program BERMUTU
1.5 Manfaat
Manfaat modul suplemen kajian kritis ini adalah sebagai berikut.
• Memberikan pedoman bagi guru cara melakukan kajian kritis terhadap bahan bacaan atau artikel
• Dapat dijadikan pedoman oleh guru untuk menilai apakah suatu artikel layak sebagai dirujuk dalam menyusun PTK atau makalah/artikel ilmiah
• Memberikan pedoman cara merujuk bahan bacaaan dalam menyusun kajian pustaka atau makalah/artikel almiahA






















BAB II
KONSEP DAN PRINSIP KAJIAN KRITIS

2. Konsep dan Prinsip Kajian Kritis
2.1 Pengertian Kajian Kritis
Kajian kritis dapat ditinjau dari dua cara, yakni kajian kritis secara teoretis dan kajian kritis terapan. Secara teoretis kajian kritis dapat ditinjau berdasarkan paradigma tertentu dan secara terapan kajian kritis dapat dilakukan untuk tujuan praktis, yakni tujuan pemanfaatan informasi yang ditemukan dalam suatu teks untuk keperluan tertentu.
Kritisisme secara teoretis sudah merupakan satu paradigma tersendiri dalam mengkaji suatu wacana. Paradigma kritisisme dapat diperbandingkan dengan dua paradigma lain dalam meninjau suatu wacana, yaitu paradigma positivisme dan paradigma interpretivisme. Rosidi (2007) mengemukakan bahwa baik paradigma positivisme maupun paradigma interpretivisme tidak peka terhadap proses produksi dan reproduksi makna. Kedua paradigma tersebut mengabaikan kehadiran unsur kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik berwacana. Karena itu, alih-alih mengkaji ketepatan tata-bahasa menurut tradisi positivisme atau proses penafsiran sebagaimana tradisi interpretivisme, paradigma kritisisme justru memberi bobot lebih besar terhadap pengaruh kehadiran kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna suatu wacana. Baik sebagai subjek maupun objek praktik wacana, individu tidak terbebas dari kepentingan ideologik dan jejaring kekuasaan.
Sebagai semacam penyegar, alih-alih menyebutnya pembelot, strukturalisme, Teun van Dijk memperlakukan wacana sebagai entitas berstruktur. Karena itu, pendekatan yang ditawarkan pun bertolak dari pencermatan atas tiga tingkatan struktur wacana, yaitu: struktur makro, struktur supra, dan struktur mikro (macrostructure, superstructure, and micro structure). Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang diangkat oleh suatu wacana. Struktur supra menunjuk pada kerangka suatu wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan diakhiri dengan penutup. Bagian mana yang didahulukan, serta bagian mana yang dikemudiankan, akan diatur demi kepentingan pembuat wacana.
Kajian kritis yang diuraikan di atas lebih mengarah ke kajian kritis yang bersifat teoretis. Kajian itu berfokus kepada bagaimana mengurai suatu wacana dalam hubungannya dengan wacana itu sendiri dan dalam kaitannya dengan lingkungan penciptaan wacana. Penjelasan kajian kritis yang bersifat terapan dijumpai dalam glosarium BBM bermutu.
Dalam glosarium BBM Generik dikemukakan bahwa kajian kritis merupakan suatu kegiatan membaca, menelaah, menganalisis suatu bacaan/artikel untuk memperoleh ide-ide, penjelasan, data-data pendukung yang mendukung pokok pikiran utama, serta memberikan komentar terhadap isi bacaan secara keseluruhan dari sudut pandang kepentingan pengkaji. Berdasarkan pengertian ini dapat dinyatakan bahwa kegiatan utama yang dilakukan dalam kajian kritis adalah pemahaman akan makna yang tertuang dalam suatu teks.
Kata kunci yang dijumpai dalam pengertian kajian kritis di atas adalah membaca, menelaah, menganalisis, ide-ide, data pendukung, memberi komentar, dan sudut pandang kepentingan pengkaji. Ada poin utama dari kata kunci ini, yaitu aktifitas kajian, objek kajian, dan kepentingan pengkaji. Aktivitas kajian merupakan prosedur yang dilakukan dalam melakukan pengkajian, objek kajian merupakan isi teks atau wacana yang hendak dikaji, dan kepentingan pengkaji merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh subjek pengkaji. Ketiga hal ini berpilin menjadi satu membangun suatu aktivitas yang disebut dengan kajian kritis.

2.2 Prinsip Kajian Kritis
Sebelum kita melakukan kajian kritis terhadap sebuah bacaan, baik ilmiah maupun semi ilmiah, maka yang perlu dipahami dahulu adalah prinsip-prinsi kajian kritis tersebut. Berikut ini diuraikan tiga prinsip kajian kritis.
a. Objektif
Sebuah karangan Ilmiah tentu ditulis berdasarkan kenyataan ilmiah yang didapat dari penyelidikan-penyelidikan. Penyelidikan-penyelidikan itu dapat berupa penyelidikan pustaka, laboratorium dan penyelidikan lapangan Berdasarkan difenisi tersebut, maka kajian kritis secara objektif dapat dilakukan berdasarkan ciri-ciri karya ilmiah sebagai berikut.
(a) apakah karya ilmiah itu menyajikan fakta objektif dan sistematis,
(b) apakah pernyataan dalam kalimat; cermat, tulus dan benar, tidak
memuat terkaan,
(c) apakah penyusunan karangan secara sistematis dan prosedural,
(d) tidak memuat pandangan-pandangan tanpa dukungan fakta,
(e) tidak emosi serta menonjolkan emosi.

b. Prediktif
Berdasarkan ciri-ciri karangan ilmiah tersebut, maka ada beberapa sikap kritis dalam bentuk prediktif, yakni;
(a) sikap ingin tahu, kritis, terbuka, objektif,
(b) rela menghargai karya orang lain,
(c) berani mempertahankan kebenaran,
(d) mempunyai pandangan jauh ke depan.

2.3 Aspek-Aspek Dalam Kajian Kritis
2.3.1 Aspek Linguistik
Dalam menggali suatu wacana terdapat sejumlah aspek linguistik yang perlu diperhatikan, yaitu aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika. Aspek semantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud, pengandaian, serta nominalisasi. Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan bagaimana frase dan atau kalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup bentuk kalimat, koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti (pronouns). Aspek stilistika suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gaya yang digunakan oleh pelaku wacana. Dalam kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu kalimat, aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorik suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang digunakan.

2.3.2 Aspek Pembacaan Teks
Pembacaan teks merupakan upaya yang dilakukan dalam menelusuri ide yang dibentangkan oleh penulis dalam suatu teks. Pembaca berusaha menemukan rentetan ide yang ada dalam membangun suatu gagasan yang lebih besar. Dalam hal ini pengorganisasian gagasan yang dilakukan oleh penulis perlu ditangkap secara cermat oleh pembaca.
Keberhasilan pembaca menangkap ide penulis ditentukan oleh kualitas pembacaan yang dilakukannya. Ada dua hal penting yang mempengaruhi pembaca dalam menyerap ide/gagasan penulis. Pertama, skemata pembaca mengenai topik yang sedang dibacanya. Ketika membaca suatu teks memori yang tersimpan dalam image pembaca bekerja secara tak sadar dan pembaca sadar atau tidak akan melakukan pembandingan-pembandingan antara apa yang sudah pernah diketahuinya dengan informasi yang sedang dibacanya. Informasi lama yang ada dalam memori pembaca mengikat informasi baru yang sedang berupaya ditangkapnya. Mekanisme itu terus menggelinding dalam imagenya seperti bola salju yang sedang bergelinding. Akhir dari bola salju itu adalah berkurangnya memori ingatan seiring dengan menurunnya fungsi organ-organ manusia karena faktor usia.
Kedua, strategi penyajian yang digunakan penulis. Strategi ini dipengaruhi oleh tipe wacana yang ada. Untuk wacana teknis akan digunakan strategi yang cenderung tertutup, artinya penyajian tulisan itu mengikuti suatu kaidah tertentu yang secara konvensional dimiliki oleh komunitas ilmuwan serumpun. Ada kalanya kaidah ini sulit dipahami oleh mereka yang berada di luar kawasan bidang keilmuan tersebut. Berbeda dengan wacana teknis, wacana populer menggunakan strategi yang cenderung terbuka. Artinya, kaidah yang dipakai dalam penataan gagasan dalam tulisan itu mengikuti prinsip-prinsip secara umum, sehingga siapapun yang membacanya akan dengan mudah memahami isinya. Wacana popular ini tidak membuat sekat pembaca baik berdasarkan sekat bidang ilmu maupun sekat usia.
Sebagai pembaca yang baik, dia perlu secara dini menentukan wacana yang dibacanya merupakan wacana teknis ataukah wacana umum. Jika merupakan wacaba teknis, maka perhatian khusus dibutuhkan untuk mengidentifikasi gagasan yan terdapat dalam tulisan tersebut. Hal sebaliknya untuk wacana populer.
Pembaca melakukan penelaahan teks secara mendalam. Penelaahan teks merupakan upaya mencermati lebih dalam isi yang tertuang dalam suatu teks. Penelaahan teks membutuhkan analisis isi dengan melibatkan sejumlah konseptual utama. Menurut Stone (1965:5 dalam Krippendorf, 1993:19) analisis isi merupakan sebuah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi dengan mengidentifikasi secara sistematik dan objektif karakteristik-karakteristik khusus dalam sebuah teks.

2.3.3 Aspek Konteks
Dalam penelaahan teks, konteks memiliki peran yang sangat besar. Krippendorf (1993:20) mengemukakan bahwa konteks adalah lingkungan data. Biasanya analis dapat menentukan lingkungan dan konseptualisasinya. Seorang ahli linguistik dapat membatasi fokus perhatiannya kepada lingkungan linguistik berbagai kata dan ungkapan. Seorang sosiolog mungkin mengakui makna sebuah tindakan dengan menempatkannya dalam konteks situasi sosial di mana tindakan tersebut terjadi. Seorang peneliti komunikasi mungkin menginterpretasikan makna sebuah pesan dalam hubungannya dengan niat-niat pengirimnya, pengaruh-pengaruh kognitif dan behavioral pada penerimanya, institusi-institusi yang dipakai untuk menyampaikannya, atau dalam kaitannya dengan kebudayaan yang mempengaruhi peran yang dimainkan pesan tersebut.

2.3.4 Aspek Kepraktisan
Untuk keperluan kajian kritis yang bersifat praktis, sejumlah aspek yang perlu dikaji secara cermat pada sebuah sumber bacaan meliputi:
a. Penulis (kualifikasi dan track record atau kepakarannya)
b. Rujukan-rujukan yang digunakan: yang meliputi kemutakhiran dan jumlah rujukan yang diacu, baik yang mendukung atau pun yang kontradiktif.
c. Relevasi rujukan-rujukan yang diacu oleh penulis artikel untuk mendukung gagasan atau temuan.
d. Ketepatan cara merujuk (berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku)
e. Akurasi (ketelitian) data: meliputi validitas dan reliabilitas instrumen yang digunakan, keterwakilan populasi oleh sampel jika data diperoleh melalui sampling, dan kemutakhiran data jika data diambil dari sumber data tertentu (misal BPS).
f. Kedalaman analisis dan pembahasan yang dibuat oleh penulis terhadap data-data yang disajikan.
g. Kejelasan dan kemudahan uraian deskripsi yang disajikan
h. Kelengkapan informasi yang disajikan oleh penulis.
i. Kesesuaian isi artikel dengan gagasan yang akan ditulis oleh penelaah.

2.4 Penelusuran Sumber Informasi dalam Kajian Kritis
Adakalanya dalam menuliskan suatu gagasan dalam karya ilmiah, tentu penulis membutuhkan sejumlah pendapat untuk mendukung gagasan dalam tulisan tersebut. Dalam hal ini tentu membutuhkan berbagai informasi dari berbagai sumber. Di perpustakaan tersedia berbagai sumber yang ada dan tidak semua sumber itu dibutuhkan. Di sinila kita membutuhkan kiat khusus untuk memilah-milah informasi itu.
Dalam kegiatan ini tentu dijumpai masalah, yaitu informasi manakah yang sesuai dengan tulisan yang akan ditulis dan yang informasi mana yang tidak kita butuhkan. Di sinilah kita membutuhkan teknik khusus dalam kajian penemuan informasi tersebut.
Sejumlah teknik khusus yang dapat dijadikan pijakan dalam kajian kritis penelusuran informasi, antara lain; (1) pengalaman, (2) pengamatan, (3) imajinasi, (4) pendapat dan keyakinan. Selain itu, bisa juga faktor lain yang turut menjadi pertimbangan adalah (1) manusia, (2) organisasi, (3) literatur, (4) jasa informasi. Berikut ini diuraikan sumber-sumber informasi yang dapat dipakai sebagai informasi kajian kritis.
a. pengalaman, setiap orang dalam kehidupannya selalu diliputi oleh pengalaman. Di antara pengalaman itu tentu ada yang menarik patut diketahui sebagai kajian kritis.
b. pengamatan, banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang tidak kita alami langsung, tetapi kita hanya mengamati kejadian atau peristiwa itu berlangsung. Misalnya, kita mengamati ketidakdisiplinan berlalu lintas atau anak-anak sekolah sering berkeliaran di jam sekolah atau juga pegawai negeri yang sering terlambat masuk kantor. Pengamatan ini bisa kita jadikan kajian kritis, tinggal bagaimana kita memandang atau dari sisi mana kita mengkaji hal tersebut.
c. imajinasi, manusia mempunyai kemampuan berimajinasi, kemampuan membayangkan atau menghayal sesuatu. Orang boleh saja tidak mengalami langsung suatu peristiwa, tetapi dia bisa berimajinasi tentang peristiwa itu. Misalnya, orang itu tidak pernah masuk penjara, tetapi dia bisa mengkaji secara kritiss tentang kehidupan di penjara malah terkadang lebih dramatis dari orang-orang yang pernah masuk penjara.
d. pendapat dan keyakinan, setiap orang punya keyakinan. Misalnya, keyakinan tentang suatu hal tentang kampung yang harus hijau lestari, suatu kejujuruan yang harus dipelihara. Keyakinan ini dapat dijadikan daya kritis untuk melihat dan mencermati tentang suatu tulisan yang sedang dikritisi.

Selain hal di atas, sumber informasi yang dapat dilakukan sebagai penelusuran informasi suatu kajian kritis, seperti berikut ini.
a. manusia. Manusia dapat dimintai informasi secara tertulis atau lisan. Secara tertulis bisa dengan menulis surat, pembacaan karya tulisnya. Secara lisan, bisa dimintai keterangan dalam bentuk diskusi, ceramah, seminar, panel
b. organisasi. Sebagai sumber informasi, organisasi biasanya bekerja sebagai badan atau lembaga yang mengkhususkan diri dalam bidang terkait.
c. literatur. Sumber informasi ini biasanya diperoleh melalui publikasi media cetak yang terbaca dengan jelas, atau bentuk mikro yang macamnya sangat majemuk.
d. jasa informasi. Dengan berkembangnnya era informasi, sumber ini
memberi peluang untuk memberikan pelayanan informasi yang dibutuhkan,
seperti; gambar, statistik, grafik, dan sebagainya.

2.5 Pemilihan Bahan Bacaan dalam Kajian Kritis
Sumber-sumber bacaan yang dapat dirujuk sebagai dasar untuk perbaikan pembelajaran, menulis proposal dan laporan penelitian, atau menulis makalah atau artikel ilmiah antara lain: artikel dalam jurnal ilmiah, laporan penelitian, buku teks, prosiding Seminar, artikel dalam buletin atau majalah populer, termasuk koran, artikel dalam internet, teks pidato, hasil wawancara dengan pakar atau dengan responden.
Selain hal di atas beberapa pertimbangan lagi yangdapat dijadikan pijakan dalam pemilihan bahan kajian, yaitu:
• Bahan bacaan untuk rujukan yang memiliki tingkat keilmiahan tinggi meliputi artikel dalam jurnal ilmiah, laporan penelitian, dan buku teks. Oleh karena itu di dalam merujuk harus diutamakan memilih rujukan dari tiga macam di atas dibandingkan yang lainnya.
• Selain itu diutamakan bahan bacaan artikel yang terbaru (uptodate), minimal 5 tahun terakhir. Untuk buku teks yang sesui masih dimungkin yang terbitan 10 tahun terakhir.
• Jurnal ilmiah juga memiliki tingkatan, mulai dari yang paling tinggi adalah jurnal internasional, jurnal ilmiah yang terakriditasi nasional, kemudian regional dan yang belum terakreditasi.
• Perhatikan kesesuaian antara bahan bacaan yang akan dikaji dan dirujuk dengan kepentingan gagasan yang akan diteliti atau ditulis oleh penelaah.
• Hal-hal yang umumnya diteliti, ditulis menjadi artikel atau makalah oleh para guru atau para peneliti dalam ilmu dan pembelajaran Bahasa Indonesia antara lain:
- tata kalimat (gramatikal)
- fenomena dialektika
- kesalahan-kesalahan yang umum dalam berbahasa Indonesia
- kesulitan dalam pengajaran bahasa

2.6 Pelaksanaan Kajian Kritis
Setelah dilakukan pemilihan bahan kajian yang akan dikritisi, maka langkah berikutnya ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu (1) mengidentifikasi informasi permukaan dari bacaan yang akan dikritisi, dan (2) menelaah informasi isi bacaan. Berikut ini masing-masing dijekaskan kedua hal tersebut.


a. Kajian Identifikasi Informasi Awal
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam melakukan aktivitas membaca kritis ialah mencoba mengenali dan mengidentifikasi bagian ide yang paling penting dari sebuah materi bacaan serta mencoba mencatat organisasi penyajian bacaan tersebut. Langkah-langlah membaca kritis sebagai berikut;
1. Bacalah Judul dan Subjudul
Membaca judul sangat penting karena memberikan gambaran menyeluruh terhadap topik dari artikel atau bab yang akan dibaca, sementara subjudul menyediakan informasi yang lebih spesifik terhadap bahasan dari topik artikel atau bab itu.
2. Bacalah Pendahuluan atau Paragraf Pertama
Disini Anda bisa memperoleh gagasan yang merupakan titik awal dari persoalan yang dibahas atau dieksplorasi dalam bab berikutnya.
3. Bacalah Heading yang Ditebalkan ( Bila Ada )
Yang dimaksud dengan heading di sini ialah sebuah kata atau frase atau statmen yang berperan tidak lebih sebagai sub-subjudul. Heading merupakan inti dari bahasan dalam satu atau dua paragraf di bawahnya.
4. Bacalah Kalimat Pertama tepat di bawah Heading
Umumnya penulis menempatkan ide pokok bahasan sebuah paragraf di kalimat pertama.
5. Perhatikan Aneka Peranti Penulisan yang Mencolok lainnya
Biasanya dalam pembahasan sebuah paragraf, bab, atau teks terdapat sejumlah kata atau pernyataan yang ditebalkan, dimiringkan, ataupun digarisbawahi. Kalau menemukan hal demikian, alangkah baiknya juga Anda perhatikan, kerena kata itu mempunyai peran penting.
6. Bacalah Paragraf Terakhir atau Kesimpulan
Kesimpulan, penutup, rangkuman, ataupun paragraf terakhir sebuah tulisan menyediakan pokok pikiran sekaligus kata-kata kunci dari pembahasan sebelumnya.

b. Kajian Informasi Isi
Dalam menelaah informasi isi bacaan untuk mendapatkan kesahian/keakuratan isi pesan yang disampaikan dalam suatu karya ilmiah ada empat aspek yang harus menjadi pijakan, yakni cara memahami isi bacaan, menangkap makna pesan, meyakini dan menyangkal isi pesan, dan kelengkapan isi pesan. Berikut ini diuraikan keempat hal tersebut.
1. Cara memahami isi bacaan secara cepat adalah dengan mengenali pokok pikiran setiap alinea/paragraf. Secara umum setiap alinea/paragraf memiliki pikiran utama sebagai pokok bahasan dalam alinea tersebut. Apabila pembaca dapat mengenali pikiran utama dari alinea yang dibaca, maka pada hakekatnya sudah dapat memahami maksud bacaan. Untuk Bahasa Indonesia, pikiran utama biasanya terdapat pada awal atau akhir alinea.
2. Menangkap makna pesan yang terkandung dalam bacaan. Makna pesan adalah inti dari informasi yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Caranya adalah dengan mengenali kata-kata operasional (sering disebut dengan ”predikat” pada pola kalimat SPO – Subyek Predikat Obyek) pada pikiran utama.
Contoh:
Apabila Saudara memiliki sebuah pikiran utama dari sebuah alinea:
”Peningkatan profesionalisme guru”, maka dapat dijelaskan
Bahwa. Kata operasionalnya adalah ”Peningkatan”, karena:kata
profesionalisme dan guru merupakan kata yang akan dikenai
dengan kegiatan peningkatan, bukan kata peningkatan
yang akan dikenai dengan kegiatan profesionalisme, atau kata
peningkatan akan dikenai dengan kegiatan guru.
3. Meyakini atau menyangkal kebenaran isi bacaan, merupakan langkah yang paling sulit dari membaca kritis, karena pembaca harus memiliki kemampuan menjustifikasi. Untuk melakukan kegiatan tersebut pembaca harus mempunyai banyak informasi pendukung, mengetahui teknik-teknik mengutip tulisan, dapat melakukan logika universal, dan validasi informasi.
4. Sangat mungkin informasi yang diperoleh benar adanya, akan tetapi kurang lengkap. Terhadap informasi seperti ini pembaca harus mencoba mencari informasi kelengkapannya. Seandainya ternyata tidak ditemukan, maka sebaiknya tidak digunakan.

Untuk mendapatkan kebenaran lebih dalam dalam menelaah isi pesan, maka langka pelaksanaan kajian kritis agar menjadi lebih berkualitas, maka pijakan selanjutnya adalah melakukan alur tahapan kajian kritis sebagai berikut.
a. Tetapkan tujuan utama pelaksanaan kajian kritis tersebut. Penetapan
tujuan ini bergantung pada keinginan yang ingin dicapai.
b. Baca secara sepintas seluruh isi teks
c. Temukan kesesuaian antara isi pembacaan sepintas dengan tujuan yang
hendak dicapai
d. Tetapkan pembacaan pemahaman akan dilanjutkan atau tidak
e. Baca secara cermat isi teks
f. Temukan informasi utama yang ada pada setiap paragraf
g. Cermati pandangan penulis dan pandangan orang lain dalam kutipan
Setelah mengkaji alur tahapan itu, maka tetapkan pendirian Anda, setuju atau tidak!. Jika Anda telah setuju maka langkah berikutnya yang dilakukan!
h. Buat catatan kecil hasil pembacaan
i. Formulasikan ke dalam wacana hasil catatan kecil

c. Kajian Logika dan Penalaran Isi
Untuk melihat pada kecermatan logika dan penalaran si penulisnya, ada sejumlah hal utama yang dapat dilakukan dalam mengkaji bacaan secara kajian kritis, sebagai berikut.
a. Temukan definisi yang digunakan penulisnya
b. Identifikasikan model analisis yang digunakan penulisnya
c. Temukan perbandingan dan pertentangan yang disajikan penulis
d. Temukan ilustrasi apa saja yang terdapat dalam teks

d. Kajian Aspek Kerangka dan Isi Bacaan
Untuk menelaah pada aspek-aspek kerangka dan isi bacaan, maka rambu-rambu dalam melakukan kajian kritis bahan bacaan ilmiah diungkapkan dalam pertanyaan berikut ini.
1. Siapa penulis artikel? Guru atau dosen yang cukup berpengalaman; pengamat atau peneliti bahasa yang sudah berpengalaman (dilihat dari banyaknya tulisan yang dibuat dan dimuat oleh jurnal); pejabat di lingkungan departemen atau dinas pendidikan, atau yang lainnya.
2. Kapan artikel tersebut ditulis atau dimuat?
3. Bagaimana kategori atau jenis jurnal atau buletin memuat?
4. Bagaiaman penataan kerangka berpikir yang dibuat oleh penulis?
5. Bagaimana urgensi masalah dan tujuan penulisan artikel?
6. Bagaimana teknik pelaksanaan penelitian atau khususnya dalam pengumpulan data?
7. Keterpercayaan sumber-sumber data yang digunakan atau dirujuk?
8. Bagaimana ketaatan penulis dalam mengikuti kaidah perujukan pendapat lain?
9. Bagaimana akurasi data-data primer atau sekunder yang digunakan oleh penulis?
10. Bagaimana teknik analisis data, baik secara deskriptif, kuantitatif, atau statistik?
11. Bagaimana kemampuan atau ketajaman penulis dalam membuat pembahasan berdasarkan hasil analisis data?
12. Bagaimana sistematika (urutan logika berpikir) yang ditunjukkan oleh penulis dari masalah, teknik pengambilan data, analisis data, pembahasan sampai pada kesimpulan?
13. Bagaimana kejelasan temuan yang dihasilkan dari penelitian atau kekuatan gagasan yang dimunculkan oleh penulis?
14. Bagaimana justifikasi atau rekomendasi yang dibuat oleh penulis berdasarkan hasil penelitian atau uraiannya?














BAB III
PENULISAN DAN PEMANFAATAN HASIL KAJIAN KRITIS

3.1 Penelaahan Karya Tulis Ilmiah (KTI) Sebagai Langkah Awal
Kajian Kritis Praktis
Tidak semua laporan yang bernamakan Penelitian Tindakan kelas (PTK) memenuhi syarat-syarat sebagai PTK. Untuk itu dibutuhkan parameter tertentu untuk memilah sebuah tulisan berupa PTK atau bukan. Sebagai gambaran bagi pengkritisi, berikut ini disajikan pandangan Suhardjono ( 2008 ) mengenai prinsip utama sebuah laporan disebut Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Laporan Penelitian Tindakan Kelas
Oleh Suhardjono

Penelitian Tindakan Kelas, merupakan penelitian tindakan yang umum dilakukan guru guna memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelasnya. PTK berfokus pada kelas atau pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas, dan tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi di dalam kelas.
Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas. Kegiatan penelitian ini tidak saja bertujuan untuk memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan. Secara lebih rinci, tujuan PTK antara lain :
• Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
• Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan luar kelas.
• Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan.
• Menumbuh-kembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan (sustainable).
Ciri khusus dari PTK adalah adanya tindakan (action) yang nyata. Tindakan itu dilakukan pada situasi alami (bukan dalam laboratorium) dan ditujukan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan praktis. Tindakan tersebut adalah merupakan sesuatu kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Pada penelitian tindakan, kegiatan tersebut dilakukan dalam rangkaian siklus kegiatan.
Sesuai dengan prinsip bahwa ada tindakan yang dirancang sebelumnya maka objek penelitian tindakan kelas harus merupakan sesuatu yang aktif dan dapat dikenai aktivitas. Di samping itu PTK, karena menggunakan kegiatan nyata di kelas, menuntut etika, antara lain: (a) tidak boleh mengganggu tugas proses pembelajaran dan tugas mengajar guru. (b) jangan terlalu menyita banyak waktu (dalam pengambilan data, dll). (c) masalah yang dikaji harus merupakan masalah yang benar-benar ada dan dihadapi oleh guru., (d) dilaksanakan dengan selalu memegang etika kerja (minta ijin, membuat laporan, dll)
PTK terdiri rangkaian empat kegiatan yang dilakukan dalam siklus berulang. Empat kegiatan utama yang ada pada setiap siklus adalah (a) perencanaan, (b) tindakan, (c) pengamatan, dan (d) refleksi yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Pelaksanaan PTK dimulai dengan siklus yang pertama yang terdiri dari empat kegiatan. Apabila sudah diketahui letak keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang dilaksanakan pada siklus pertama tersebut, guru (bersama peneliti, bila PTKnya tidak dilakukan sendiri oleh guru) menentukan rancangan untuk siklus kedua. Kegiatan pada siklus kedua dapat berupa kegiatan yang sama dengan kegiatan sebelumnya bila ditujukan untuk mengulangi kesuksesan , atau untuk meyakinkan atau menguatkan hasil. Tapi umumnya kegiatan yang dilakukan pada siklus kedua mempunyai berbagai tambahan perbaikan dari tindakan terdahulu yang tentu saja ditujukan untuk memperbaiki berbagai hambatan atau kesulitan yang ditemukan dalam siklus pertama.
Dengan menyusun rancangan untuk siklus kedua, maka guru dapat melanjutkan dengan tahap kegaita-kegiatan seperti yang terjadi dalam siklus pertama.Jika sudah selesai dengan siklus kedua dan guru belum merasa puas, dapat melanjutkan dengan siklus ketiga, yang cara dan tahapannya sama dengan siklus terdahulu.

Definisi : Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelasnya. PTK berfokus pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas, dilakukan pada situasi alami.
Tindakan tersebut merupakan suatu kegiatan yang sengaja dirancang untuk dilakukan oleh siswa dengan tujuan tertentu. Oleh karena tujuan PTK adalah memperbaiki mutu pembelajaran, maka kegiatan yang dilakukan haruslah berupa tindakan yang diyakini lebih baik dari kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan. Dengan kata lain, tindakan yang diberikan kepada siswa harus terlihat kreatif dan inovatif.
Hal yang khusus pada tindakan tersebut adalah adanya hal yang berbeda dari yang biasa dilakukan guru dalam praktik pembelajaran sebelumnya, karena yang sudah dilakukan dipandang belum memberikan hasil yang memuaskan.
Untuk mengetahui keberhasilan tindakan tersebut maka harus dilakukan secara berulang-ulang, agar diperoleh keyakinan akan keampuhan dari tindakan. Jika dibandingkan dengan eksperimen adalah demikian. Eksperimen melihat bagaimana efektivitas perlakukan, sedangkan PTK melihat keterlaksanaan dan kelancaran proses tindakan. Oleh karena itu yang dipentingkan dalam PTK adalah proses, sedangkan hasil tindakan merupakan konsekuensi logis dari ampuhnya tindakan. Pengulangan langkah dari setiap awal sampai akhir seperti itu disebut siklus. Untuk KTI guru, PTK sedikitnya dilaksanakan dua siklus.
Berikut disajikan contoh judul dan rumusan masalah penelitian tindakan kelas di bidang pembelajaran.
No Judul penelitian Rumusan masalah
1 Meningkatkan kemampuan siswa dalam menyampaikan pendapat secara lisan melalui diskusi kelompok pada mata pelajaran X, di kelas Y, pada sekolah Z.  Bagaimana kelancaran langkah pembelajaran diskusi, meliputi kelancaran pembentukan kelompok, mengajukan pendapat, menanggapi pendapat, sampai mengambil kesimpulan?
 Bagaimana situasi belajar kelompok meliputi ketertiban, ketenangan, keseriusan diskusi, dll.
 Bagaimana keaktifan siswa dalam berpartisipasi, semangat siswa me- nanggapi dan mempertahankan pendapat, kelancaran berbicara?
 Bagaimana kemampuan siswa dalam menyampaikan pendapat?
Kendala-kendala apa yang dijumpai dalam penerapan PBL dan bagaimana mengatasinya, dst?




Kerangka Isi laporan
Umumnya KTI PTK ini mempunyai kerangka isi sebagai berikut:
Bagian Awal yang terdiri dari: (a) halaman judul; (b) lembaran persetujuan dan pernyataan dari kepala sekolah yang menyatakan keaslian tulisan dari si penulis; (c) pernyataan dari perpustakaan yang menyatakan bahwa makalah tersebut telah disimpan diperpustakannya, (d) pernyataan keaslian tulisan yang dibuat dan ditandatangi oleh penulis, (e) kata pengantar; (f) daftar isi, (bila ada : daftar label, daftar gambar dan daftar lampiran), serta (g) abstrak atau ringkasan.
Bagian Isi umumnya terdiri dari beberapa bab yakni:
• Bab I Pendahuluan yang menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah dan Cara Pemecahan Masalah melalui rencana tindakan yang akan dilakukan, Tujuan dan Kemanfaatan Hasil Penelitian (terutama: potensi untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas isi, proses, masukan, atau hasil pembelajaran dan/atau pendidikan).
• Bab II Kajian / Tinjauan Pustaka yang berisi uraian tentang kajian teori dan pustaka yang menumbuhkan gagasan yang mendasari usulan rancangan penelitian tindakan (khususnya kajian teori yang berkaitan dengan macam tindakan yang akan dilakukan), proses tindakan, ketepatan atau kesesuainan tindakan dengan ciri-ciri kejiwaan siswa, dan lain-lain.
• Bab III Metode Penelitian atau Metodologi Penelitian yang menjelaskan tentang prosedur penelitian (terutama: prosedur diagnosis masalah, penjelasan rinci tentang perencanaan dan pelaksanaan tindakan, prosedur pelaksanaan tindakan, prosedur observasi dan evaluasi, prosedur refleksi , serta hasil penelitian). Yang harus ada dan dikemukakan secara jelas dalam bagian ini adalah langkah-langkah tindakan secara rinci, terutama langkah yang harus dilakukan oleh siswa, bukan menjelaskan langkah guru yang biasa seperti membuat persiapan, menyiapkan alat, dan seterusnya.
• Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan serta mengemukakan gambaran tentang pelaksanaan tindakan, dimulai dari setting atau pengaturan siswa, penjelasan umum jalannya pembelajaran diikuti penjelasan siklus demi siklus. Akhir dari bab ini adalah pembahasan, yaitu pendapat peneliti tentang plus minus tindakan serta kemungkinannya untuk diterapkan lagi untuk memperoleh gambaran model tindakan ini sebagai metode mengajar yang dipandang kreatif dan inovatif, sehingga dapat memberikan hasil pembelajaran yang maksimal
• Bab V Simpulan dan Saran-Saran.

Bagian Penunjang yang pada umumnya terdiri dari sajian daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang diperlukan untuk menunjang isi laporan.
Lampiran utama yang harus disertakan adalah (a) semua instrumen yang digunakan dalam penelitian, terutama lembar pengamatan, b) contoh-contoh hasil kerja dalam pengisian/ pengerjaan instrumen baik oleh guru maupun siswa, (c) dokumen pelaksanaan penelitian yang lain seperti foto-foto kegiatan, daftar hadir, dan lain-lain.

Berdasarkan penjelasan Suhardjono di atas, berikut ini disajikan instrumen yang dapat menjadi pijakan untuk menilai suatu tulisan disebut PTK atau bukan!.

NO PARAMETER JAWABAN KET.
YA TIDAK
A Ciri Umum PTK
1 Memperbaiki mutu praktik pembe-lajaran di kelas
2 Berfokus pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas
3 Memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas
4 Mencari jawaban ilmiah mengapa permasalahan yang diangkat dapat dipecahkan dengan tindakan yang dipilih
5 Ada tindakan (action) nyata dalam kelas yang dilakukan dengan sengaja
6 dilakukan dalam rangkaian minimal dua siklus kegiatan
7 Tindakan yang diberikan kepada siswa bersifat kreatif dan inovatif
8 Tindakan yang diberikan berbeda dari yang biasa dilakukan guru dalam praktik pembelajaran sebelumnya
B Proses Pelaksanaan PTK
9 Pelaksanaan tindakan tidak meng-ganggu tugas proses pembelajaran dan tugas mengajar guru.
10 Memanfaatkan waktu secara proporsional dalam pengambilan data
11 Masalah yang dikaji merupakan masalah yang benar-benar ada dan dihadapi oleh guru.,
12 dilaksanakan dengan selalu memegang etika kerja (minta ijin, membuat laporan, dll)
13 Didisain melalui (a) perencanaan, (b) tindakan, (c) pengamatan, dan (d) refleksi
14 Ada keterkaitan antara siklus dengan siklus berikutnya
15 Proses lebih dipentingkan sedangkan hasil tindakan dipandang hanya sebagai konsekuensi logis dari ampuhnya tindakan
C Ketepatan dan Kesinambungan Isi Subbab
Bab I Pendahuluan
16 Kesesuaian antara Latar Belakang, Perumusan Masalah, Cara Pemecahan, Tujuan dan Kemanfaatan Hasil Penelitian.
17 Latar Belakang Masalah memuat rasional, harapan, dan permasalahan nyata di dalam kelas
18 Perumusan Masalah dan Cara Peme-cahan Masalah sesuai dengan rencana tindakan yang akan dilakukan,
19 Rumusan Masalah disajikan dalam bentuk pertanyaan
20 Hipotesis Tindakan untuk menjawab rumusan masalah
21 Tujuan Penelitian berkenaan dengan perumusan masalah
22 Manfaat hasil Penelitian memuat potensi untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas isi, proses, masukan, atau hasil pembelajaran dan/atau pendidikan
B Bab II Kajian / Tinjauan Pustaka
23 Kajian/Tinjauan Pustaka berisi uraian tentang kajian teori dan pustaka yang membangun gagasan untuk menjawab masalah dan melaksanakan rancangan penelitian tindakan
24 Kajian/Tinjauan Pustaka tidak memuat uraian yang tidak berkenaan dengan masalah penelitian
25 Kajian/Tinjauan Pustaka berisi uraian tentang proses tindakan
26 Kajian/Tinjauan Pustaka berisi uraian ketepatan atau kesesuaian tindakan dengan ciri-ciri kejiwaan siswa
27 Kerangka Pikir diturunkan dari hasil kajian pustaka
28 Kerangka Pikir representatif dalam menjawab pertanyaan penelitian
C Bab III Metode dan Prosedur
Penelitian
29 Setting Penelitian memuat gambaran yang jelas tentang subjek dan lokasi penelitian
30 Perencanaan Siklus memuat rancang-an pembelajaran dan disain siklus
31 Dalam disain siklus diuraikan strategi pelaksanaan tindakan dan strategi pelaksanaan refleksi
32 Memuat langkah-langkah tindakan secara rinci, terutama langkah yang harus dilakukan oleh siswa.
33 Tidak menekankan penjelasan langkah guru yang biasa seperti membuat persiapan, menyiapkan alat, dan seterusnya.
34 Menggunakan Metode pengumpulan data berupa observasi, tes, dan wawancara.
35 Instrumen yang digunakan dapat merekam data secara lengkap
36 Analisis data yang dipilih dapat digunakan untuk menguraikan jawaban masalah penelitian
37. Analisis data bisa bersifat kuantitatif dan kualitatif
D Bab IV Hasil Penelitian dan
Pembahasan
38 Memuat gambaran awal prestasi atau kondisi siswa sebelum pelaksanaan tindakan
39 mengemukakan gambaran umum tentang pelaksanaan tindakan
40 Penjelasan pelaksanaan tindakan dimulai dari setting atau pengaturan siswa,
41 Mengemukakan penjelasan umum jalannya pembelajaran
42 Mengemukakan penjelasan siklus demi siklus.
43 Setiap akhir siklus diikuti penjelasan hasil refleksi
44 Akhir bab ini memuat pembahasan pendapat peneliti tentang plus minus tindakan
45 Memuat penjelasan kemungkinan untuk diterapkan lagi untuk memperoleh gambaran model tindakan ini sebagai metode mengajar yang dipandang kreatif dan inovatif
E Bab V Simpulan dan Saran
46 Simpulan hanya memuat temuan penelitian sesuai masalah yang diajukan dan uraian simpulan dalam bentuk naratif
47 Saran hanya memuat saran yang berkaitan dengan temuan penelitian
48 Butir saran boleh lebih dari satu komunitas
F Kelengkapan Pustaka
49 Bahan rujukan (buku) berupa terbitan lima tahun terakhir
50 Mencantumkan bahan referensi minimal 5 (lima) referensi terbaru di luar Kamus, UU, PP, dan Permen, serta panduan-panduan.


Tugas
Latihlah diri Anda mengkritisi sebuah PTK dengan menggunakan instrumen di atas. Gunakan laporan PTK dalam bentuk jurnal pada lampiran 1.

3.2 Kajian Kritis untuk Keperluan Praktis
Dua hal minimal yang dapat dipetik dari kegiatan kajian kritis. Pertama, kajian kritis dapat menguatkan wawasan bagi penulisnya. Informasi serupa dalam naskah yang dikritisi mungkin sudah pernah dibaca sebelumnya tetapi sudah tertimbun dalam memorinya sehingga informasi itu tidak lagi pernah dimanfaatkan dalam penyelesaian permasalahan yang dihadapinya. Dalam kondisi ini kajian kritis berfungsi mengingatkan dan menguatkan kembali konsep tersebut. Kedua, kajian kritis dapat memberi informasi baru bagi pengkritisi. Seiring dengan perkembangan konsep dan paradigma keilmuan dalam hal mana ilmu terus berkembang dan inovasi orang lain terus bertambah sementara kita terus disibukkan dengan tugas rutin sehari-hari sehingga tidak sempat mengikuti perkembangan itu menyebabkan kita tertinggal dari informasi baru tersebut. Melalui kajian kritis perkembangan baru itu dapat diikuti. Dalam kondisi seperti ini kajian kritis merupakan pembuka wawasan.
Baik fungsi kajian kritis sebagi penguat wawasan maupun sebagai pembuka wawasan, keduanya dapat memberi konstribusi positif dalam pengembangan gagasan untuk keperluan pengorganisasian tulisan. Berikut ini disajikan identifikasi isi suatu tulisan yang berpotensi dimanfaatkan dalam membangun gagasan dalam suatu tulisan.
Berdasarkan isi tulisan terdapat dua kategori besar pemaparan gagasan yang dijumpai dalam suatu teks, yaitu berdasarkan penggagas dan berdasarkan strategi penyajian. Kedua hal ini lebih lanjut diuraikan di bawah ini.


3.3 Pemilahan Pandangan Penggagas
Dalam setiap tulisan dijumpai dua sumber gagasan, yaitu penulis dan orang lain yang dikutip pandangannya oleh penulis. Pengkritisi harus mampu membedakan bagian mana yang merupakan pandangan penulis dan bagian mana pula yang merupakan pandangan orang lain yang dikutip oleh penulis. Pembedaan keduanya dapat dilakukan melalui pengidentifikasian penanda bahasa yang digunakan. Penanda bahasa yang menunjukkan penguraian langsung penulis memiliki ciri yang sangat luas dan hampir-hampir tidak dapat diidentifikasikan. Berbeda dengan itu, penanda bahasa yang menunjukkan pendirian orang lain dalam tubuh suatu tulisan dengan mudah dapat diidentifikasikan. Untuk itu pemilahan kedua hal ini akan lebih mudah jika didasarkan atas pijakan pandangan orang lain yang terdapat dalam suatu tulisan. Lebih dahulu akan diuraikan penanda yang kedua, yakni pendapat orang lain. Setelah hal ini terdeskripsikan maka dapat ditarik garis bahwa di luar dari hal tersebut merupakan pandangan penulis.
Berikut ini diuraikan penanda yang merupakan kutipan dari pendapat orang lain.
(1) Diawali atau diakhiri dengan pencantuman sumber kutipan;
(2) Bila kurang dari tiga baris, biasanya diapit oleh tanda kutip;
(3) Biasanya diawali dengan kata menurut ... (misalnya, menurut Ali
(2008:12)
(4) Akhir dari kutipan biasanya diikuti oleh kalimat ”berdasarkan
pandangan di atas atau Berdasarkan pandangan Ali dapat dinyatakan
bahwa...
Adakalanya penulis menderetkan sejumlah pandangan ahli yang berbeda. Ciri utama dari penderetan pandangan itu adalah
(5) sejalan dengan pandang A, diikuti oleh penyebutan ahli lain.
Misal. sejalan dengan Pandangan Ali, Mukhtar mengemukakan bahwa atau boleh jadi penulis mempertentangkan dua ahli yang ada. Misalnya, berbeda dengan pandangan Ali, Mukhtar mengemukakan bahwa .....

Ciri di atas merupakan ciri umum yang lazim dijumpai dalam sebuah karya tulis mengenai pencantuman kutipan dalam karya seseorang. Di luar dari hal tersebut gagasan itu merupakan paparan asli penulisnya.
Kesulitan yang dapat dijumpai adalah pada bagian manakah yang merupakan batas penguraian antara pandangan orang lain dengan pandangan penulis? Setidaknya batas paragraf dapat menjadi penanda batas penguraian tersebut. Penanda lainnya adalah penulis menggunakan kata-kata tertentu sebagai awal dari penjelasannya atau akhir dari penjelasan orang lain.
Untuk lebih memahami lebih lanjut kedua hal di atas. Berikut ini dikutipkan satu tulisan beserta identifikasi batas antara pandangan penulis dan pandangan orang lain.

Kebangkitan Lingustik Indonesia

Oleh Muhammad Hasri

Kebangkitan linguistik Indonesia tidak terlepas dari jasa sejumlah tokoh. Mereka ini terdiri atas sarjana Barat dan sarjana Pribumi. Sejumlah nama dari Barat adalah Joannes Roman (1653), George Henrik Werndly (1736), William Marsden (1812), John Crawfurd (1852), J.J. de Hollander (1882), Gerth van Wijk (1889), Ch. Van Ophujsen (1915), R. O. Winsted (1914), P. J. Zoetmulder (1955), C. A. Mess (1957), E. M. F. Payne (1964). Sejumlah nama sarjana Pribumi adalah Raja Ali Haji (1857 dan 1859), Koewatin Sasrasoeganda (1910), Zainal ‘Abidin bin Ahmad (Za’ba) (1940), Soetan Moehammad Zain (1943), S. Takdir Alisjahbana (1953), Madong Lubis (1954), I. R. Poedjawijatna (1955), Slametmuljana (1957), Anton M. Moeliono (1967), S. Wojowasito (1978), M. Ramlan (1985), Samsuri (1985).
Linguis yang hadir pada dekade 80-an hingga kini lahir dari hasil transformasi konsep dan teori yang telah diletakkan sejumlah tokoh yang disebutkan di atas. Perkembangan pesat linguistik Indonesia dewasa ini dipicu oleh keinginan sejumlah linguis yang menaruh perhatian terhadap karakteristik linguistik dari ratusan bahasa daerah yang tersebar di Nusantara. Salah satu tujuannya adalah menyelamatkan bahasa tersebut dari kepunahan.
Dua hal yang patut mendapat perhatian dalam mengulas kebangkitan linguistik Indonesia, yaitu karya yang dihasilkan oleh sederet tokoh di atas dan pemikiran linguistik yang mereka letakkan yang menyebabkan terpicunya perkembangan linguistik Indonesia. Karya para tokoh tersebut disajikan dalam sebuah tabel dan pemikiran mereka disajikan dalam bentuk uraian.

Tokoh dan Karya Pemicu Kebangkitan Linguistik Indonesia
Diurut Berdasarkan Tahun Buku
No Nama Tahun Karya/Buku
1 Joannes Roman 1653 Grond ofte Kort Berich van de Malaysche Tale, Vervat in Twee Deelen: Het eerste handelende van de Letters ende Haren aenhangh, Het Andere, van de deelen eener Redene
2 George Henrik Werndly 1736 Maleische Spraakkuntst
3 William Marsden 1812 A Grammar of the Malayan Language
4 John Crawfurd 1852 A Grammar and Dictionary of the Malay Language
5 Raja Ali Haji 1857 dan 1859 Bustanul Katibin

Kitab Pengetahuan Bahasa
6 J.J. de Hollander 1882 Handleiding bij de Boefening der Maleische Taal en Letterkunde
7 Gerth van Wijk 1889 Spraakleer der Maleische Taal
8 Koewatin Sasrasoeganda 1910 Kitab jang Menyatakan Djalan Bahasa Melajoe
9 Ch. Van Ophujsen 1915 Maleische Spraakkunst
10 R. O. Winsted 1914 Malay Grammar
11 Zainal ‘Abidin bin Ahmad (Za’ba) 1940 Pelita Bahasa Melayu
12 Soetan Moehammad Zain 1943 Djalan Bahasa Indonesia
13 S. Takdir Alisjahbana 1953 Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia
14 Madong Lubis 1954 Paramasastra Lanjut
15 I. R. Poedjawijatna dan P.J. Zoetmulder 1955 Tata Bahasa Indonesia
16 C. A. Mess 1957 Tatabahasa Indonesia
17 Slametmuljana 1957 Kaidah Bahasa Indonesia
18 Teeuw 1961 Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia
19 E. M. F. Payne 1964 Basic Syntactic Structures in Standar Malay
20 Ramlan 1964

1985 Tipe-tipe Konstruksi Frase dalam Bahasa Indonesia
Tata Bahasa Indonesia, Penggolongan Kata
21 Anton M. Moeliono 1967 Suatu Reorientasi dalam Tata Bahasa Indonesia
22 Gorys Keraf 1969 Tatabahasa Indonesia
23 S. Wojowasito 1978 Ilmu Kalimat Strukturil
24 Samsuri 1985 Tata Kalimat Bahasa Indonesia

Keduapuluh empat linguis di atas membentangkan gagasan dengan silang pendapat yang sangat menarik. Perbedaan filosofi kajian mereka terekam dalam pembahasan mengenai kelas kata yang mereka lakukan. Keduapuluh empat linguis tersebut membagi kelas kata bahasa Indonesia secara bervariasi. Jumlah kelas kata yang paling sedikit dilakukan oleh Samsuri (1985) yang hanya membagi kelas kata bahasa Indonesia atas dua kelas saja dan jumlah kelas kata yang paling banyak dilakukan oleh Ramlan (1985) yang membagi kelas kata bahasa Indonesia atas 12 kelas kata. Kridalaksana (1986) secara memadai menyajikan bahasan mengenai silang pendapat kelas kata bahasa Indonesia.
Ada beberapa filosofi berpikir yang berkembang pada perkembangan awal kajian linguistik Indonesia. Kridalaksana (1986: 9 – 26) membaginya ke dalam empat kategori, yaitu pandangan yang mengacu ke (1) tatabahasa pedagogis, (2) tatabahasa teknis, (3) tatabahasa modern, dan (4) tatabahasa pedagogis yang berorientasi linguistis. Empat kategori ini dapat dirinci menjadi dua garis besar saja, yaitu tatabahasa pedagogis yang berorientasi ke tatabahasa tradisional dan tata bahasa teknis yang menjadikan struktural sebagai pijakan analisis.
Tatabahasa pedagogis merupakan kajian linguistik yang bertujuan mempelajari suatu bahasa untuk keperluan penguasaan bahasa tersebut agar dapat digunakan dalam berkomunikasi dengan orang lain baik dengan penutur asli maupun dengan penutur asing. Tata bahasa pedagogis merupakan pelengkap dari pengajaran bahasa. Pada perkembangan awal kajian linguistik secara pedagogik dilakukan oleh kaum penjajah untuk memperkukuh kekuasaannya dan oleh kaum misionaris nasrani dan muslim untuk menyebarkan agamanya.
Ada dua kelompok tatabahasa pedagogis, kelompok pertama mereka yang menelaah bahasa ini secara nonformal untuk tujuan mempelajari bahasa Melayu dengan maksud ingin berintegrasi dengan masyarakat nusantara. Kelompok kedua, mereka yang mulai menyusun tatabahasa dengan maksud diajarkan secara formal kepada orang lain. Kedua kelompok ini umumnya dipelopori oleh linguis Belanda. Kajian linguistiknya didasarkan pada telaah yang telah dilakukan terhadap bahasa Belanda. Kajian ini mengacu kepada tatabahasa tradisional sesuai pandangan Aristoteles terutama dalam hal kelas kata. Mereka mengkaji bahasa berdasarkan makna yang bersifat normatif dan tidak terlalu peduli terhadap bentuk. Hal ini terlihat jelas dalam kelas kata yang mereka buat.
Kridalaksana (1986: 10 – 18) menyebutkan sejumlah nama yang tergolong ke dalam penelaah tatabahasa pedagogis ini antara lain Joannes Roman (1653), George Henrik Werndly (1736), William Marsden (1812), John Crawfurd (1852), Raja Ali Haji (1857 dan 1859), J.J. de Hollander (1882), Gerth van Wijk (1889), Koewatin Sasrasoeganda (1910), Ch. Van Ophujsen (1915), R. O. Winsted (1914), Soetan Moehammad Zain (1943), Sutan Takdir Alisjahbana (1953), Madong Lubis (1954), I.R. Poedjawijatna dan P. J. Zoetmulder (1955), dan C. A. Mess (1957). Sejak dari Joanes Roman (1653) sampai dengan John Crawfurd (1852) telaah tatabahasa pedagogis dilakukan dengan tujuan ingin menguasai bahasa Melayu dan menggunakannya secara langsung ke penutur bahasa Melayu di Nusantara untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hasil telaah ini dipelajari secara nonformal oleh komunitas Belanda yang bertugas di Indonesia. Mulai pada masa Raja Ali Haji (1857) hingga masa C. A. Mess (1957) tatabahasa pedagogis ini dipelajari secara formal baik melaui bangku sekolah maupun dalam kursus-kursus bahasa.
Di antara linguis tatabahasa pedagogis ini Kridalaksana (1986:14) menyebutkan bahwa Koewatin Sasrasoganda (1910) adalah linguis pribumi pertama yang menulis tatabahasa Melayu dalam bahasa Melayu dengan tradisi Yunani-Latin-Belanda. Kridalaksana menggelarinya sebagai Bapak Tata Bahasa Tradisional.
Kategori kedua adalah tata bahasa teknis. Tata bahasa ini berusaha untuk memahami bahasa dengan memanfaatkan teori dan metode linguistik. Linguis sudah mulai menggunakan kriteria yang jelas dalam penelaahan bahasa. Linguis yang digolongkan ke dalam kategori ini adalah Slametmuljana (1957), Anton M. Moeliono (1967), S. Wojowasito (1978). M. Ramlan (1985), dan Samsuri (1985).
Slamemuljana (1957) menelaah bahasa Indonesia dengan menggunakan analisis fungsionalistis, yaitu analisis yang menekankan kepada fungsi gramatika dalam telaah kalimat. Slametmuljana mulai mengenalkan gatra, seperti gatra sebutan untuk subjek, gatra pangkal untuk predikat. Telaah ini menekankan kepada fungsi kalimat. Kepulangan Anton M. Moeliono dari Amerika Serikat memicu perkembangan besar linguistik Indonesia. Chaer (2007:378) menyatakan bahwa Anton M. Moeliono dan T. W. Kamil yang baru saja pulang dari Amerika Serikat, keduanya adalah orang yang pertama kali mengenalkan konsep fonem, morfem, frasa dan klausa dalam pendidikan formal linguistik di Indonesia. Sebelumnya yang dikenal hanya kata dan kalimat.
Kehadiran M. Ramlan (1985) dengan tatabahasa struktural dan Samsuri (1985) dengan tatabahasa generatif meledakkan linguistik Indonesia menjadi sebuah kajian yang menarik perhatian. Konsep struktural Ferdinan de Saussure disusul oleh strukturalisme Bloomfield dan teori transformasi Chomsky mulai bergema di berbagai perguruan tinggi. Kajian Keraf dan Kajian Verhaar terhadap bahasa Indonesia melengkapi kebangkitan telaah linguistik Indonesia.



Kepustakaan

Alisjahbana, S. T. A.
1988 Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Asy’ari (Editor)
2008 Manusia Renaissance Relevansi Pemikiran Sutan Takdir
Alisjahbana. Jakarta: Dian Rakyat.

Chaer, A.
2007 Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta

Keraf, G.
1970 Tatabahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

Kridalaksana, H.
1986 Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.


3.4 Identifikasi Strategi Penyajian Gagasan
Terdapat sejumlah strategi yang dapat dilakukan dalam pengembangan suatu gagasan. Ambo Enre (1994) menyebut strategi penyajian gagasan itu sebagai pengembangan paragraf. Sejumlah cara yang dapat dilakukan dalam penyajian gagasan itu adalah ilustrasi, argumentasi, analisis, perincian, perbandingan, dan definisi. Berikut ini diraikan satu persatu hal tersebut.

Ilustrasi, penyajian gagasan dengan ilustrasi biasanya dilakukan dengan cara penguraian secara renik. Diawali dengan gagasan secara umum kemudian diikuti oleh renik-renik yang ada untuk memperjelas gagasan umum tersebut. Ilustrasi lebih lengkap bila disertai dengan contoh yang ada sehingga informasi umum tersebut dapat lebih jelas adanya.

Analisis, ciri utama analisis adalah penjabaran suatu konsep ke dalam sejumlah konsep bawahan dengan penguraian yang dilakukan secara lebih detail. Keberhasilan teknik analisis ditunjukkan oleh dilahirkannya suatu klasifikasi yang daripadanya terjelaskan keterkaitan antara konsep bawahan dengan konsep bawahan lainnya.

Perincian, ciri utama perincian adalah penyajian sejumlah ciri yang dimiliki oleh suatu gagasan. Bedanya dengan analisis dan ilustrasi terletak pada kedalaman perinciannya. Perincian tidak mengungkap keterkaitan antara satu rincian dengan rincian lainnya sementara analisis memperhatikan keterkaitan tersebut. Perbedaannya dengan ilustrasi adalah perincian tidak diurai dengan contoh sementara ilustrasi akan semakin jelas bila disertai contoh dan asosiasi. Perincian hanyalah berupa dereta unsur yang membawahi konsep tertentu.

Perbandingan, ciri utama perbandingan adalah ditunjukkannya persamaan dan perbedaan mengenai suatu hal. Persamaan ditandai dengan kesejajaran konsep dan perbedaan ditandai dengan oposisi konsep.

Definisi, ciri utama definisi adalah pembatasan lingkup konsep yang dimiliki oleh suatu kata atau istilah. Definisi dibangun oleh genus dan atribut. Genus merupakan golongan yang akan diberi batasan dan atribut merupakan pembatas dari genus yang akan didefinisikan.

Berikut ini ditampilkan kajian kritis tentang identifikasi strategi penyajian gagasan berdasarkan: ilustrasi, analisis, perincian, perbandingan dan definis dalam artikel erjudul “Belajar Bahasa Indonesia dengan Diskusi”



Belajar Bahasa Indonesia dengan Diskusi

A.M. Slamet Soewandi
Universitas Sanata Dharma


1. Pendahuluan
Pembelajaran (learning) bahasa harus dibedakan dengan pemerolehan (acquiring) bahasa. Jika pemerolehan bahasa terjadi secara tidak disengaja, maka pembelajaran bahasa diperoleh dengan sengaja. Jika pemerolehan bahasa terjadi karena kehendak kuat untuk menjadi bagian (bersoialisasi dengan) atau kehendak kuat untuk dianggap sebagai warga pemilik bahasa itu, maka pembelajaran bahasa terjadi karena "keinginan" untuk mengenali kehidupan orang-orang yang mempergunakan bahasa itu. Jika pemerolehan bahasa terjadi secara tidak direncanakan, dirancang, disistematisasikan, maka pembelajaran bahasa terjadi karena pihak lain merancangnya tahap demi tahap, bahan demi bahan, tujuan demi tujuan. Rancangan dari pihak lain dapat saja wujud konkretnya menjadi suatu modul atau program pembelajaran, yang tanpa bantuan orang lain--tanpa guru-- dapat dikuasainya. Jika pemerolehan bahasa terjadi melalui intake (bahan bahasa yang meaningful/contextual/functional), maka pembelajaran bahasa dapat saja terjadi melalui bahan-bahan bahasa tanpa konteks.
Karena diketahui hasilnya sangat efektif, maka cara memperoleh (acquiring) bahasa seperti disebutkan di atas diadopsi ke dalam pembelajaran (learning) bahasa. Muncullah karena itu cara pembelajaran kontekstual, di mana materi bahasa dirakit dalam suatu konteks, dipilih sesuai dengan tingkat keseringan kemunculannya, dan dipilih berdasarkan konteks fungsional. Itulah sebabnya, pemilihan materi bahasa harus juga mendasarkan faktor sosiolinguistis dan pragmatis. Faktor sosiaolinguistis menentukan pilihan-pilihan variasi sosiolinguistis: siapa mitra bicara, dalam konteks apa berbicara, saluran apa yang dipilih, tujuan apa yang dicapai. Faktor pragmatis menentukan pilihan-pilihan variasi kebahasaan berdasarkan tingkat keresmian komunikasi.
Mempelajari bahasa berdasarkan ciri-ciri seperti yang terjadi pada pemerolehan bahasa itulah yang secara khusus disebut mempelajari bahasa dengan pendekatan komunikatif. Tujuan pokok dari belajar bahasa dengan pendekatan itu adalah dicapainya kemampuan berkomunikasi pada diri pembelajar. Oleh karena itu, fungsi-fungsi bahasa menjadi pandom (penuntun) pemilihan variasi-variasi bahasa, yang meliputi variasi ucapan, pilihan kosa kata, pilihan bentuk kata, pilihah frasa, klausa, jenis kalimat, urutan unsur-unsur kalimat, bahkan pilihan jenis wacana tertentu. Karena fungsi bahasa harus menuntun pilihan variasi bahasa, maka mau tidak mau konteks ( wacana) menjadi pandon penting.

2. Tujuan Belajar Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing

Mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa asing (termasuk mempelajari bahasa lain sebagai bahasa asing) memiliki tujuan, yaitu tercapainya keterampilan berbahasa pada diri si belajar (learner). Ia menjadi dapat berbahasa, dapat berhubungan dengan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Namun demikian, perlu dibedakan adanya dua jenis tujuan, yaitu umum dan khusus. Jika seseorang mempelajari bahasa asing semata-mata untuk dapat berkomunikasi keseharian dengan penutur bahasa itu, maka tujuan yang tercapai adalah tujuan umum. Tercapainya tujuan umum seperti ini mempersyaratkan tercapainya keterampilan yang disebut BICS (basic interpersonal communication skills). Oleh karena itu, tekanan penguasaan adalah bahasa sehari-hari sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan praktis, misalnya bagaimana si belajar menyapa, menawar, menolak, mempersilakan, mengucapkan terima kasih, menyatakan penyesalan, mengajak, meminta izin, memintakan izin, menyela, menyudahi percakapan, berpamitan, memperkenalkan diri, memperkenalkan temannya, mengeluh, memuji, memberi dan membalas salam, berobat, menelepon, pergi ke bank, dan sebagainya.
Sebaliknya, jika seseorang ingin mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diungkapkan dalam bahasa itu, maka tujuan yang tercapai adalah tujuan khusus. Misalnya, ia ingin mempelajari kepercayaan yang dianut suatu suku bangsa, atau mempelajari kebudayaan suatu suku bangsa. Tercapainya tujuan seperti ini mempersyaratkan tercapainya keterampilan yang disebut CALP (cognitive/academic language proficiency).
Tentu saja, bahan yang diajarkan untuk dua jenis tujuan itu berbeda meskipun pendekatan yang dipergunakan sama; bahkan ciri-ciri kebahasaan bahasa Indonesia yang diajarkan juga berbeda. Soewandi (1993) menyingkat ciri khas bahasa untuk tujuan tercapainya BICS menjadi lima kecenderungan: (1) dipergunakannya bentuk- bentuk kata yang tidak formal, (2) dipergunakannya kosa kata tidak baku, (3) dihilangkannya imbuhan-imbuhan kata (afiks) dan kata-kata tugas yang tidak menimbulkan salah tafsir, (4) penulisan yang tidak baku, dan (5) dipakainya susunan kalimat yang sederhana dan lebih cenderung tidak lengkap. Sebaliknya, ciri khas bahasa untuk tujuan tercapainya CALP ada lima kecenderungan, yaitu ditekankannya penggunaan: (1) bentuk-bentuk kata yang baku, (2) kosa kata teknis dan baku, (3) imbuhan dan kata-kata tugas secara lengkap, (4) kaidah-kaidah penulisan, dan (5) susunan kalimat yang baku, lengkap unsurnya, dan pada umumnya lebih kompleks.
Pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dapat memilih salah satu dari kedua tujuan itu meskipun dapat saja keduanya. Hanya saja, untuk dapat.menguasai CALP, dituntut dimiliknya BICS lebih dahulu. Mengapa? Karena mereka yang mempelajari bahasa dengan tujuan CALP pada umunya mereka yang ingin mendalami salah satu aspek dari kegiatan manusia Indonesia, entah mendalami kebudayaannya, kehidupan sosialnya, atau politiknya, atau manusianya sebagai paguyupan tertentu (antropologis). Untuk dapat mencapai tujuan itu, secara metodologis ia harus menjadi bagian dari kehidupan yang ingin dikenali. Oleh karena itu, mau tidak mau, penguasaan BICS menjadi penolong yang penting dalam penemuan data yang diinginkan. Karena pada umumnya pembelajaran bahasa dibedakan menjadi tiga tingkat--permulaan, tengahan dan lanjutan--kiranya pembelajaran dengan diskusi hanya cocok diterapkan pada pembelajaran bahasa dengan tujuan tercapainya CALP; berarti hanya cocok bagi mereka yang sudah ada di tingkat lanjutan.
Judul makalah itu mengacu, tentu saja, pada tercapainya tujuan belajar bahasa pada tingkat CALP. Mengapa? Karena belajar dengan diskusi mengandaikan "penguasaan bahasa" sudah terpenuhi. Pada tingkat CALP ini, pada umumnya kursus-kursus bahasa Indonesia bagi orang asing menuntut tercapainya profil kompetensi : (1) mampu berbicara tentang topik-topik tertentu sesuai dengan bidang minatnya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar; (2) mampu mendengarkan pembicaraan dalam seminar, mendengarkan berita-berita dari radio dan televisi; (3) mampu membaca teks-teks asli (di majalah, atau surat kabar, terutama untuk memahami ide-ide yang ada di dalamnya), dan (4) mampu mengungkapkan gagasannya secara tertulis dalam bentuk karangan ilmiah. Jika pembelajaran pada tingkat BICS si belajar masih lebih berkutat pada penguasaan bahasa sebagai bekalnya, maka tekanan pembelajaran pada tingkat CALP lebih-lebih pada bagaimana dengan bekal bahasanya itu ia dapat memahami dan mengungkapkan idenya kepada mitra diskusi. Ini tidak berarti bahwa bekal bahasanya sudah dikuasainya secara sempurna. Si belajar masih tetap mempelajari bahasanya, tetapi boleh dikatakan sudah pada tingkat "menyempurnakan/memperbaiki".


3. Diskusi sebagai Salah Satu Bentuk Pembelajaran Bahasa Asing

Istilah diskusi di sini berupa suatu konstruk yang oleh penulis diisi pengertian yang sedikit berbeda dengan istilah diskusi dalam kaitannya dengan debat, dan diskusi dalam kaitannya dengan bentuk pembelajaran pada umumnya. Pengertian umum diskusi adalah membicarakan suatu masalah oleh para peserta diskusi dengan tujuan untuk menemukan pemecahan yang paling baik berdasarkan berbagai masukan. Sebaliknya, debat adalah pembicaraan tentang suatu masalah dengan tujuan untuk memenangkan atau mempertahankan pendapat yang dimiliki oleh peserta debat. Sangat mungkin, pendapat yang dimenangkan bukan yang terbaik.
Diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran umum adalah suatu cara pembelajaran di mana peserta didik (murid, mahasiswa) mendiskusikan (membicarakan, mencari jawaban bersama) dengan cara saling memberikan pendapatnya, kemudian disaring untuk ditemukan kesimpulan. Tentu saja persyaratan terjadinya pembelajaran dengan diskusi adalah bahwa bahasa benar-benar sudah sangat dikuasai oleh peserta didik. Guru tidak lagi memberikan perhatian pada bahasa, melainkan pada isi atau materi diskusi.
Diskusi di dalam makalah ini diberi pengertian sebagai bentuk pembelajaran bahasa asing, di mana para peserta diskusi mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah (topik). Seseorang mempersiapkan pendapatnya secara tertulis dalam bentuk karangan pendek, kemudian disajikan di kelas. Yang lain memberikan tanggapan secara lesan. Kebenaran pendapat yang disampaikan, baik oleh penyaji makalah maupun teman-temannya, memang perlu diperhatikan, tetapi yang lebih ditekankan adalah bahasa yang dipergunakan benar atau tidak. Di samping itu, kesimpulan pendapat tidak perlu dituntut. Maka, tugas guru (instruktur) lebih pada merekam (mencatat) kesalahan-kesalahan bahasa apa saja yang dibuat oleh peserta diskusi.
Konteks diskusi di dalam makalah ini mirip dengan apa yang terjadi pada pelaksanaan perkuliahan seminar bahasa dan sastra, atau perkuliahan seminar pengajaran bahasa dan sastra di program studi atau jurusan bahasa dan sastra. Dalam pelaksanaan perkuliahan jenis ini, di samping diperhatikan tercapainya kompetensi sebagai pemakalah dalam menulis makalah, menyajikan makalah, menjawab pertanyaan; dan tercapainya kompetensi sebagai pemandu, penambat, dan pembahas tertunjuk, juga masih diperhatikan bagaimana pembahasaan (cara mengungkapkan dengan bahasa) dalam makalah, bagaimana pemakaian bahasa dalam bertanya jawab, dan menuliskan tambatan.
Pembelajaran bahasa asing dengan diskusi jarang terjadi hanya dengan satu pertemuan, tanpa didahului oleh pertemuan-pertemuan pendahuluan. Mengapa? Karena untuk dapat berdiskusi diperlukan bahan diskusi. Oleh karena itu, sebelum bentuk pembelajaran diskusi dapat diterapkan perlu ada pembelajaran-pembelajaran dengan bentuk pembelajaran lain untuk tujuan membekali bahan, baik bahan diskusi maupun bahan bahasanya sebagai alat diskusi. Menurut pengalaman, dalam suatu kursus bahasa---berarti terjadi secara terencana, dari pertemuan ke pertemuan yang lain--pelaksanaan pembelajaran bahasa asing dengan diskusi menjadi efektif jika diawali dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan topik-topik yang berhubungan; baru pada awal pertemuan-pertemuan berikutnya (konkretnya pada awal minggu berikutnya) dilaksanakan pembelajaran dengan diskusi. Bahan diskusi berupa perpaduan (ramuan atau olahan) dari topik-topik yang dipelajari pada pertemuan-pertemuan sebelumnya..
Mengapa bentuk diskusi cocok untuk pencapaian bahasa tingkat CALP? Menurut pengalaman, belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dengan bentuk diskusi memiliki keuntungan-keuntungan berikut. Pertama, dengan diskusi, memang materi bahasa bagi pembelajar "tidak" menjadi fokus perhatian mereka. (Materi bahasa menjadi perhatian pada waktu persiapan diskusi, yaitu pada waktu pertemuan-pertemuan pendahuluan). Yang menjadi fokusnya justru bagaimana pembelajar mengemukakan pendapatnya dengan logika, data, dan gagasannya. Bagi pembelajar tingkat lanjutan, berarti pada tingkat dicapainya CALP, kemampuan berbahasa "sudah" mereka miliki. Jadi, rasa takut salah dalam berbahasa sudah berkurang, atau bahkan dapat dihindari. Kedua, dengan diskusi, pembelajar "dipaksa" mengemukakan pendapatnya. Keterpaksaan itu justru mendorong pembelajar--tanpa "takut" salah dalam berbahasa--dengan sekuat tenaga dan sebanyak yang dimiliki untuk digunakan pada waktu menjadi pemakalah, atau pembahas, atau pemandu, atau notulis (penambat). Ketiga, semua keterampilan--mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis--dipelajari. Keempat, bagi pembelajar lanjut, yang pada umumnya adalah mereka yang duduk di perguruan tinggi, karena terjadinya transfer of learning, apa yang pernah diperolehnya--dalam hal ini penguasaan tentang aturan-aturan membuat makalah, dan sebagainya--dengan mudah dapat dimanfaatkan.


4. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa dengan Diskusi

Dengan memakai pengalaman mengajar beberapa tahun yang lalu, maka pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing dengan diskusi perlu melalui pertemuan-pertemuan pendahuluan dengan materi diskusi yang saling berkaitan, dan dengan materi bahasa yang berkelanjutan. Pada pelaksanaan diskusinya sendiri terdapat kegiatan sebagai berikut. Seseorang ditunjuk menyajikan apa yang ditulis. Sebelumnya karangan yang disusunnya dibagikan kepada teman-temannya, dan kepada guru atau instrukturnya.
Karena diskusi di sini merupakan bentuk pembelajaran dan masih tetap ditekankan pada penyempurnaan penguasaan bahasa, maka tidak diperlukan pemandu khusus. Instruktur sendiri yang mengatur jalannya "diskusi", di samping tugasnya yang pokok, yaitu mencatat--syukur dapat merekam-- kesalahan yang dibuat, baik oleh pemakalah maupun oleh yang lain, terutama kesalahan pada pemilihan kosa kata, penulisan kata, pemakaian dan pemilihan bentuk kata, pengucapan kata dan kalimat, penyusuna kata menjadi kalimat, dan menjadi paragraf. Kesalahan-kesalahan bahasa yang dibicarakan lebih ditekankan pada penyimpangannya dari kebakuan bahasa seperti yang diuraikan di muka sebagai ciri diperolehnya kompetensi CALP. Unsur sosiolinguistis dan pragmatis dari penggunaan bahasa itu juga perlu diperhatikan. Jika dianggap perlu dapat ditambahkan cultural notes dan etika berdiskusi. Tentu saja, karena dalam kursus-kursus bahasa asing terkandung unsur promosi, instruktur perlu juga bercerita sebagai pelengkap (pengayaan) terhadap topik-topik itu. (sayang tidak tersimpan satu contoh makalah yang peserta waktu itu).
Poedjosoedarmo (2001) memberikan data yang menarik., yang terjadi di Amerika serikat sebagai berikut.

“To attain an advanced level of competence, for example in the USA, where English is a native language, in most universities students are required to take a test on English, and it means a test on writing essay. This is why, books on Essay Writing and Thesaurus are important for college students. Students need to consult to a dictionary of synonyms or a thesaurus to make them able to chose the right words in their essays. In Indonesia, to well known intellectuals also spent a lot of times publishing their writings before they become famous. Good writing skill seems to be very important in developing advanced language competence.




5. Penutup

Benang merah gagasan di muka dapat disampaikan sebagai berikut. Pertama, mempelajari BI sebagai bahasa asing memiliki dua tujuan: umum dan khusus. Kompetensi yang akan diperoleh oleh keduanya berbeda. Mempelajari BI dengan tujuan umum ingin memperoleh BICS, sedangkan dengan tujuan khusus ingin memperoleh CALP. Bagi mereka yang mempelajari BI dengan tujuan khusus, tentu saja, perlu memiliki kompetensi kebahasaan dalam tingkat BICS juga sebagai sarana untuk, misalnya, memperoleh data. Kedua, Kebahasaan untuk tingkat BICS cenderung bercirikan sebagai bahasa yang tidak standar, sebaliknya untuk tingkat CALP bercirikan sebagai bahasa standar. Ketiga, diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa asing tidak sama pengertiannya dengan diskusi sebagai bentuk pembelajaran pada umumnya, dan tidak sama dengan pengertian dengan istilah diskusi dalam pasangannya dengan debat. Tujuan yang ingin dicapai terutama adalah tercapainya kompetensi kebahasaan, lebih-lebih pada tingkat CALP. Oleh karena itu, bentuk pembelajaran ini kiranya cocok untuk pembelajaran bahasa asing pada tingkat lanjut. Keempat, karena pembelajaran bahasa tidak terjadi hanya dengan satu pertemuan, melainkan dari pertemuan yang satu ke pertemuan yang lain dalam periode terttentu, maka bentuk pembelajaran dengan diskusi hanya mungkin dilaksanakan setlah pembelajar memperoleh bahan diskusi dan bertambah penguasaan bahasasanya. Oleh karena itu, seyogyanya pembelajaran dengan diskusi perlu didahului oleh pembelajaran-pembelajaran dengan bentuk lain dengan materi yang saling berkaitan.



Daftar Pustaka

Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001. “Language Teaching Approaches and Advanced Level of Language Competence”. Makalah dalam Seminar on Language and Culture, Sanata Dharma University, August 25.

Soewandi, A.M. Slamet. 1994. “Pengajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing: Tujuan, Pendekatan, Bahan Pengajaran dan Pengurutannya”. Makalah pada Konferensi Internasional Pengajaran bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di Universitas Kristen satya Wacana, 20-23 Januari.

------------. 1993. “Pembelajaran Bahasa Indonesia di Program SEASSI”, di Seattle, Universitas Washington.


3.5. Pemanfaatan Kajian Kritis dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah
Pemanfaatan kajian kritis dalam penulisan karya ilmiah adalah suatu yang mutlak yang harus dipahami dan dicermati seorang penulis atau yang sedang menulis bahkan penulis terkenal sekali pun. Dengan memanfaatkan kajian kritis, si penulis tersebut dapat menumbuhkan inspirasi, pemerkaya bahan tulisan, membangun gagasan dan strategi pengembangan tulisan yang sedang dikembangkan. Berikut ini diuraikan keempat hal tersebut dalam kaitan pemanfaatan kajian kritis dalam membangun karya tulis ilmiah yang berkualitas.

3.5.1 Kajian Kritis Sebagai Sumber Inspirasi
Tidak jarang kita cemburu melihat kawan kita yang memiliki tulisan demikian banyak. Tulisannya bertebaran di surat kabar, majalah, atau di jurnal-jurnal. Sering pula kita jumpai teman yang seangkatan dengan kita melambung jauh kepangkatannya karena kegiatan pengembangan profesi yang dilakukan selalu lebih dari cukup. Sementara karena alasan rutinitas sehari-hari kita tak produktif melahirkan tulisan. Rasa ingin menulis demikian besar tetapi kita kehilangan inspirasi, topik apakah yang menarik untuk ditulis.
Guru memiliki segudang pengalaman. Keluh kesah dan bahagia membaur menjadi satu ketika berhadapan dengan peserta didik di dalam kelas. Pengalaman ini sebenarnya merupakan sebuah samudera luas yang sangat disayangkan apabila terlewatkan begitu saja. Sukma besar untuk menuliskan pengalaman itu tak pernah padam dalam hati. Sebagai guru, selalu saja ada keinginan untuk menuangkan pengalaman itu dalam bentuk tulisan, hanya saja kebanyakan di antara mereka tak pernah mau memulai menuliskannya. Hasilnya tak pernah terwujud sebuah tulisan karena tak pernah memulai meletakkan kalimat yang pertama.
Sebenarnya persoalan apa yang dihadapi oleh sebagian guru kita yang memiliki beribu pengalaman tetapi miskin tulisan? Dari sisi akademik mereka adalah orang-orang terpelajar. Mereka bahkan adalah alumnus perguruan tinggi yang sebelumnya telah belajar menulis selama 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, dan 3 tahun di SMA.
Jawaban dari pertanyaan di atas adalah sebagian guru belum mencermati karakteristik penciptaan tulisan dan karakteristik tulisan itu sendri. Penciptaan tulisan membutuhkan sebuah ketelatenan karena menulis adalah sebuah keterampilan. Menulis adalah kegiatan mekanistik yang ditopang oleh kognitif. Menulis haruslah dilatihkan bukan diceritakan. Sebagai sebuah keterampilan, menulis dapat disetarakan dengan bersepeda. Seseorang tidak akan mungkin terampil bersepeda bilamana hanya memiliki pengalaman mendengarkan cara bersepeda. Keteramplan bersepeda bisa saja dimiliki tanpa mendengarkan cerita tentang cara bersepeda. Sebaliknya, keterampilan bersepeda dapat dimiliki dengan terjun langsung praktik bersepeda dengan konsekuensi lutut dapat menjadi lecet, dada tertubruk di setir, atau kaki keseleo karena tertindis sepeda. Cara inilah yang telah ditempuh oleh sejumlah penulis terkenal, seperti Buya Hamka, Rosihan Anwar, dan Arsewendo Atmowiloto.
Pemahaman karakteristik tulisan juga sangat penting dalam menumbuhkan keinginan menulis. Kunci pemerolehan karakteristik tulisan terletak pada kebiasaan membaca. Hanya melalui membacalah kita dapat berenang dalam indahnya karakteristik tulisan. Apalagi, bilamana kita sampai pada tingkatan membaca yang tertinggi, yakni membaca kritis.
Pembaca kritis ditandai oleh munculnya reaksi terhadap isi wacana yang dibacanya. Pembaca kritis tidak hanya menyerap isi tulisan tetapi ia secara aktif bereaksi terhadap tulisan itu. Bentuk reaksinya dapat berupa kesetujuan, ketidaksetujuan, kekaguman, pujian, bahkan mungkin dalam bentuk makian.
Kembali ke persoalan mandulnya pena sebagian guru kita. Taufiq Ismail telah melansir sebuah pernyataan bahwa bangsa kita telah rabun membaca dan lumpuh menulis. Untuk bangkit dari kondisi ini salah satu cara yang dilakukan adalah mengajak guru-guru kita untuk melakukan kajian kritis terhadap sejumlah tulisan yang selama ini tersaji di hadapan kita. Dengan mengajak guru kita melakukan kajian kritis setidaknya dapat memberi momentum menulis pada dirinya dan diharapkan dapat terimbas ke peserta didiknya.
Ada sejumlah alasan mengapa kajian kritis menjadi salah satu pilihan menumbuhkan inspirasi dalam menulis:
1. Hasil kajian kritis dapat memicu pilihan topik dari sekian banyak topik yang selama ini hendak ditulis oleh guru.
2. Hasil kajian kritis dapat menggugah kesetujuan dan ketidaksetujuan sehingga pengkritisi hendak menguatkan atau membantah bacaan yang dikritisinya
3. Hasil kajian kritis menghasilkan simpulan bahwa informasi dalam wacana itu belum lengkap sehingga pengkritisi hendak melengkapinya.
4. Hasil kajian kritis menunjukkan bahwa uraian dalam wacana berbeda dengan fakta yang dialami oleh pengkritisi sehingga dia hendak membentangkan yang seharusnya.
5. Hasil kajian kritis menunjukkan bahwa wacana itu belum memberi kepuasan kepada pembacan, sehingga pengritisi hendak memuaskan pembaca.
6. Hasil kajian kritis menunjukkan bahwa informasi yang terdapat dalam wacana terlalu dilebih-lebihkan sehingga pengkritisi hendak menunjukkan yang proporsional.
3.5.2 Kajian Kritis Sebagai Pemerkayaan Bahan
Kegiatan menulis adalah proses, yaitu proses penulisan. Ini berarti bahwa kita melakukan kegiatan itu dalam beberapa tahap, yaitu tahap prapenulisan, tahap penulisan dan tahap revisi. Pada tahap pertama, yaitu tahap prapenulisan maka di sinilah kita perlu pemerkayaan bahan-bahan yang layak dan sesuai dengan tulisan yang akan dikembangkan.
Bahan-bahan yang layak tentu mempengaruhi kualitas dan pengembangan tulisan, khususnya pada langkah pertama, yakni topik aktual yang ingin dikembangkan. Tanpa, pemilihan dan penentuan bahan-bahan atau memperkaya bahan-bahan terasah agak sulit untuk menemukan topik yang aktual sekaligus mengembangkan kualitas tulisan pada dimensi data dan fakta serta ilustrasi sebagai pendukung utama suatu tulisan yang kreatif.
Dalam penentuan sumber bahan dan sekaligus pemerkayaan bahan inilah, maka perlu suatu kajian kritis tentang kualitas bahan tersebut. Untuk menentukan kualitas bahan sekaligus pemerkayaan bahan, maka ada sejumlah hal-hal untuk menentukan kualitas bahan tersebut, sebagai berikut.
1. Apakah bahan bacaan memiliki tingkat keilmiahan tinggi meliputi artikel dalam jurnal ilmiah, laporan penelitian, dan buku teks.
2. Diutamakan bahan bacaan artikel yang terbaru (uptodate), minimal 5 tahun terakhir. Untuk buku teks yang sesui masih dimungkin yang terbitan 10 tahun terakhir.
3. Tingakatan jurnal ilmiah yang ingin dipakai sebagai bahan rujukan, mulai dari yang paling tinggi adalah jurnal internasional, jurnal ilmiah yang terakriditasi nasional, kemudian regional dan yang belum terakreditasi.
4. Perhatikan kesesuaian antara bahan bacaan yang akan dikaji dan dirujuk dengan kepentingan gagasan yang akan diteliti atau ditulis oleh penelaah.
5. Cermati pemakaian bahasa Indonesia dalam bahan rujukan yang akan dipakai yang meliputi; tata kalimat (gramatikal), fenomena dialektika, kesalahan-kesalahan yang umum pemakaian bahasa Indonesia dalam bahan atau rujukan untuk memperkaya bahan tulisan.

3.5.3. Kajian Kritis Sebagai Pembangun Gagasan
“Penulis yang Baik adalah Pembaca yang Baik” Benarkah?
Setiap orang, termasuk guru sebagai pembangun kualitas anak bangsa, sudah pasti ada keinginan untuk menjadi penulis yang baik. Untuk mewujudkan keinginan menjadi penulis yang baik itu, maka langkah pertama, yang harus dia pikirkan, dia harus memiliki kemampuan membaca yang baik. Kenapa demikian? karena menjadi menulis yang baik, dia sebenarnya ingin mewujukan bahwa dirinya adalah pembangun gagasan yang baik. Oleh karena itu, untuk membangun gagasan tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan membaca. Ringkasnya, ‘penulis yang baik adalah pembaca yang baik’.
Nah, pada kegiatan membaca inilah, sebenarnya telah terjadi kegiatan mengkrtisi suatu bacaan. Tujuan tidak lain, calon penulis tersebut, termasuk penulis terkenal pun, dalam rangka untuk membangun gagasannya agar tidak itu-itu saja, sudah pasti membaca agar gagasan yang dibangunya lebih bermutu. Ringkasnya, orang yang senang baca pasti wawasannya luas!
Berdasarkan hal di atas, ada tiga keuntungan mengkritisi suatu bacaan atau kajian krtis suatu bacaan, ketika orang mau membangun gagasanya dalam suatu tulsian yang kreatif.
1. Dengan mengkritis suatu bacaan membuat orang memperoleh informasi untuk membangun gagasan, memperkaya ide. Dengan demikian apa yang ditulisnya dirasakan sebagai sesuatu yang menarik dan berharga.
2. Dengan mengkritis suatu bacaan, seorang penulis dapat mengetahui selera pembaca, berdasarkan gender, usia dan sosial, sehingga dia mampu membangun gagasannya ke arah hal itu.
3. Dengan mengkritisi suatu bacaan orang dapat membangun gagasan dengan jalan pintas untuk membangun gagasan. Dalam bentuk analognya, untuk mengetahui ditonjok teman itu sakit, orang tidak perlu menyuruh temannya untuk menonjok dirinya. Dia cukup bagaimana menahan rasa sakit dan marahnya yang dotonjok dengan bahasa tulis.

3.5.4 Kajian Kritis Sebagai Pemerkaya Strategi Pengembangan Menulis
Tulisan yang indah adalah tulisan yang pembacanya mampu bertahan berjam-jam duduk menelusuri ide demi ide dalam wacana tanpa pernah beranjak dari tempatnya. Lebih berhasil lagi bilamana pembaca mampu di buat menunda pekerjaan pentingnya karena alasan ia belum menyelesaikan bacaannya. Hanya penulis yang punya pengalaman dalam yang mampu membuat tulisan seperti ini.
Seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa menulis merupakan sebuah keterampilan. Hal ini berarti menulis itu dapat dipelajari dan sesuatu yang bisa dipelajari pastilah bisa dimiliki oleh siapa saja yang mau mempelajarinya. Pandangan ini menguatkan bahwa siapa saja bisa sampai kepada penciptaan suatu tulisan yang mampu membuat pembacanya mampu bertahan berjam-jam dan bahkan mampu membuat pembaca menunda pekerjaan pentingnya karena alasan belum menyelesaikan bacaannya.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menghasilkan sebuah tulisan yang berkategori indah? Jawaban sederhana yang teoretis dari pertanyaan ini adalah buat tulisan kamu menjadi variatif, sajikan kohesi dan koherensi secara apik, dan urai topik yang aktual. Lalu bagaimana caranya? Di sinilah hasil kajian kritis memberi peran yang tidak sedikit.
Dua hal penting yang perlu dicermati dalam kajian kritis, yaitu bentuk penyajian dan gagasan yang kembangkan penulisnya. Salah satu yang berkenaan dengan bentuk penyajian adalah strategi penyajian dan yang berkenaan dengan gagasan adalah aktualitas dan kebermanfaatan gagasan yang dikembangkan.
Kajian kritis memberi peran yang penting dalam pemerkayaan strategi tulisan didasari oleh sifatnya dasar kajian kritis, yaitu eksplorasi informasi melalui sejumlah bacaan. Asumsi yang mendasarinya adalah makin banyak teks yang dieksplorasi makin kaya pula strategi penulisan yang diperoleh. Kajian kritis memberi peluang untuk menyadap berbagai strategi yang telah digunakan oleh penulis sebelumnya.
Agar kajian kritis dapat berkonstribusi langung terhadap penciptaan tulisan yang variatif dan menarik, pengkritisi perlu menyediakan waktu untuk turut menelaah strategi yang digunakan penulis dalam membangun gagasannya.
Ada sejumlah strategi yang perlu dicermati oleh pengkritisi dalam suatu teks, yaitu:
1. Strategi pengorganisasian gagasan sebagai pembuka, isi, dan penutup
2. Stregi pengembangan paragraf
3. Strategi pemokusan atau penekanan gagasan
4. Strategi penataan alur pikir
5. Strategi gaya penulisan
6. Strategi penyapaan pembaca
Melalui kajian kritis sejumlah strategi di atas dapat ditelaah pada wacana yang dikritisi. Setiap penulis memiliki strategi yang biasanya berbeda. Pengkritisi yang dengan cermat memperhatikan strategi tersebut, pada tahap awal dapat mengadopsi strategi yang telah digunakan oleh penulis lain yang pada saatnya nanti pengkritisi pemula akan menemukan gayanya sendiri yang menjadi karakteristik tulisannya.
Ketika pengkritisi itu sudah sampai pada penemuan jati dirinya dalam penciptaan tulisan, ketika itu pengkritis itu sudah beranjak dari penulis amatir ke penulis profesional dan hal ini dapat diraih melalui pengintesifan kajian kritis.
















DAFTAR RUJUKAN


Fachruddin, A.E, Prof, Dr. 1994. Dasar-Dasar Keterampilan Menulis. Penerbit
IKIP Ujung Pandang.

Titscher, Stefan. 2000 Metode Analisis Teks & Wacana. Editor. Prof. Dr.
Abdul Syukur Ibrahim. Pustaka Pelajar. Jakarta

Suharjono. 2007. Karya tulis Ilmiah (KTI) Pada Kegiatan Pengembangan
Profesi Guru. Depdiknas. Jakarta

Hidayat, Dedy N. 2003. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. LkiS.
Yogyakarta

Hasri, Muhammad. 2009. Kebangkitan Linguistik Indonesia. (Artikel belum
terbit). LPMP SUMSEL.

Suewandi, Slamet A.M. 2007. Belajar Bahasa Indonesia dengan Diskusi.
Universitas Sanata Darma



























GLOSARIUM

Artikel : tulisan yang memuat suatu gagasan suatu topik bersifat semi
populer

Kajian Kritis : telaah yang dilakukan terhadap suatu teks dengan maksud
memahami lebih dalam pada bentuk dan isi teks tersebut

Kajian Kritis Praktis: telaah yang dilakukan terhadap suatu teks dengan tujuan
untuk dimanfaatkan dalam menghasilkan suatu tulisan

Kajian Kritis Teoritis: telaah yang dilakukan terhadap suatu teks dengan tujuan
untuk mengapresia lebih jauh bentuk dan isi

Pengkritis : Orang yang melakukan pengkajian kritis terhadap suatu teks
dalam

PTK : singkatan dari penelitian tindakan kelas, yaitu suatu jenis
penelutian yang didesain untuk memperbaiki pembelajaran di
dalam kelas dengan ciri utama pelaksanaan dilakukan lebih dari
satu siklus

Telaah Isi : kajian yang dilakukan untuk menangkap informasi dalam suatu
teks

Telaah Bentuk : Kajian yang dilakukan dengan penekanan pada cara
penyajian gagasan.
Read More..

The Case Study as a Research Method Uses and Users of Information

Introduction
Case study research excels at bringing us to an understanding of a complex issue or object and can extend experience or add strength to what is already known through previous research.

Case studies emphasize detailed contextual analysis of a limited number of events or conditions and their relationships. Researchers have used the case study research method for many years across a variety of disciplines. Social scientists, in particular, have made wide use of this qualitative research method to examine contemporary real-life situations and provide the basis for the application of ideas and extension of methods.

Researcher Robert K. Yin defines the case study research method as an empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used (Yin, 1984, p. 23).
Critics of the case study method believe that the study of a small number of cases can offer no grounds for establishing reliability or generality of findings. Others feel that the intense exposure to study of the case biases the findings. Some dismiss case study research as useful only as an exploratory tool. Yet researchers continue to use the case study research method with success in carefully planned and crafted studies of real-life situations, issues, and problems. Reports on case studies from many disciplines are widely available in the literature.
This paper explains how to use the case study method and then applies the method to an example case study project designed to examine how one set of users, non-profit organizations, make use of an electronic community network. The study examines the issue of whether or not the electronic community network is beneficial in some way to non-profit organizations and what those benefits might be.
Many well-known case study researchers such as Robert E. Stake, Helen Simons, and Robert K. Yin have written about case study research and suggested techniques for organizing and conducting the research successfully. This introduction to case study research draws upon their work and proposes six steps that should be used:
• Determine and define the research questions
• Select the cases and determine data gathering and analysis techniques
• Prepare to collect the data
• Collect data in the field
• Evaluate and analyze the data
• Prepare the report
Step 1. Determine and Define the Research Questions
The first step in case study research is to establish a firm research focus to which the researcher can refer over the course of study of a complex phenomenon or object. The researcher establishes the focus of the study by forming questions about the situation or problem to be studied and determining a purpose for the study. The research object in a case study is often a program, an entity, a person, or a group of people. Each object is likely to be intricately connected to political, social, historical, and personal issues, providing wide ranging possibilities for questions and adding complexity to the case study. The researcher investigates the object of the case study in depth using a variety of data gathering methods to produce evidence that leads to understanding of the case and answers the research questions.
Case study research generally answers one or more questions which begin with "how" or "why." The questions are targeted to a limited number of events or conditions and their inter-relationships. To assist in targeting and formulating the questions, researchers conduct a literature review. This review establishes what research has been previously conducted and leads to refined, insightful questions about the problem. Careful definition of the questions at the start pinpoints where to look for evidence and helps determine the methods of analysis to be used in the study. The literature review, definition of the purpose of the case study, and early determination of the potential audience for the final report guide how the study will be designed, conducted, and publicly reported.
Step 2. Select the Cases and Determine Data Gathering and Analysis Techniques
During the design phase of case study research, the researcher determines what approaches to use in selecting single or multiple real-life cases to examine in depth and which instruments and data gathering approaches to use. When using multiple cases, each case is treated as a single case. Each case�s conclusions can then be used as information contributing to the whole study, but each case remains a single case. Exemplary case studies carefully select cases and carefully examine the choices available from among many research tools available in order to increase the validity of the study. Careful discrimination at the point of selection also helps erect boundaries around the case.
The researcher must determine whether to study cases which are unique in some way or cases which are considered typical and may also select cases to represent a variety of geographic regions, a variety of size parameters, or other parameters. A useful step in the selection process is to repeatedly refer back to the purpose of the study in order to focus attention on where to look for cases and evidence that will satisfy the purpose of the study and answer the research questions posed. Selecting multiple or single cases is a key element, but a case study can include more than one unit of embedded analysis. For example, a case study may involve study of a single industry and a firm participating in that industry. This type of case study involves two levels of analysis and increases the complexity and amount of data to be gathered and analyzed.
A key strength of the case study method involves using multiple sources and techniques in the data gathering process. The researcher determines in advance what evidence to gather and what analysis techniques to use with the data to answer the research questions. Data gathered is normally largely qualitative, but it may also be quantitative. Tools to collect data can include surveys, interviews, documentation review, observation, and even the collection of physical artifacts.
The researcher must use the designated data gathering tools systematically and properly in collecting the evidence. Throughout the design phase, researchers must ensure that the study is well constructed to ensure construct validity, internal validity, external validity, and reliability. Construct validity requires the researcher to use the correct measures for the concepts being studied. Internal validity (especially important with explanatory or causal studies) demonstrates that certain conditions lead to other conditions and requires the use of multiple pieces of evidence from multiple sources to uncover convergent lines of inquiry. The researcher strives to establish a chain of evidence forward and backward. External validity reflects whether or not findings are generalizable beyond the immediate case or cases; the more variations in places, people, and procedures a case study can withstand and still yield the same findings, the more external validity. Techniques such as cross-case examination and within-case examination along with literature review helps ensure external validity. Reliability refers to the stability, accuracy, and precision of measurement. Exemplary case study design ensures that the procedures used are well documented and can be repeated with the same results over and over again.
Step 3. Prepare to Collect the Data
Because case study research generates a large amount of data from multiple sources, systematic organization of the data is important to prevent the researcher from becoming overwhelmed by the amount of data and to prevent the researcher from losing sight of the original research purpose and questions. Advance preparation assists in handling large amounts of data in a documented and systematic fashion. Researchers prepare databases to assist with categorizing, sorting, storing, and retrieving data for analysis.
Exemplary case studies prepare good training programs for investigators, establish clear protocols and procedures in advance of investigator field work, and conduct a pilot study in advance of moving into the field in order to remove obvious barriers and problems. The investigator training program covers the basic concepts of the study, terminology, processes, and methods, and teaches investigators how to properly apply the techniques being used in the study. The program also trains investigators to understand how the gathering of data using multiple techniques strengthens the study by providing opportunities for triangulation during the analysis phase of the study. The program covers protocols for case study research, including time deadlines, formats for narrative reporting and field notes, guidelines for collection of documents, and guidelines for field procedures to be used. Investigators need to be good listeners who can hear exactly the words being used by those interviewed. Qualifications for investigators also include being able to ask good questions and interpret answers. Good investigators review documents looking for facts, but also read between the lines and pursue collaborative evidence elsewhere when that seems appropriate. Investigators need to be flexible in real-life situations and not feel threatened by unexpected change, missed appointments, or lack of office space. Investigators need to understand the purpose of the study and grasp the issues and must be open to contrary findings. Investigators must also be aware that they are going into the world of real human beings who may be threatened or unsure of what the case study will bring.
After investigators are trained, the final advance preparation step is to select a pilot site and conduct a pilot test using each data gathering method so that problematic areas can be uncovered and corrected. Researchers need to anticipate key problems and events, identify key people, prepare letters of introduction, establish rules for confidentiality, and actively seek opportunities to revisit and revise the research design in order to address and add to the original set of research questions.
4. Collect Data in the Field
The researcher must collect and store multiple sources of evidence comprehensively and systematically, in formats that can be referenced and sorted so that converging lines of inquiry and patterns can be uncovered. Researchers carefully observe the object of the case study and identify causal factors associated with the observed phenomenon. Renegotiation of arrangements with the objects of the study or addition of questions to interviews may be necessary as the study progresses. Case study research is flexible, but when changes are made, they are documented systematically.
Exemplary case studies use field notes and databases to categorize and reference data so that it is readily available for subsequent reinterpretation. Field notes record feelings and intuitive hunches, pose questions, and document the work in progress. They record testimonies, stories, and illustrations which can be used in later reports. They may warn of impending bias because of the detailed exposure of the client to special attention, or give an early signal that a pattern is emerging. They assist in determining whether or not the inquiry needs to be reformulated or redefined based on what is being observed. Field notes should be kept separate from the data being collected and stored for analysis.
Maintaining the relationship between the issue and the evidence is mandatory. The researcher may enter some data into a database and physically store other data, but the researcher documents, classifies, and cross-references all evidence so that it can be efficiently recalled for sorting and examination over the course of the study.
Step 5. Evaluate and Analyze the Data
The researcher examines raw data using many interpretations in order to find linkages between the research object and the outcomes with reference to the original research questions. Throughout the evaluation and analysis process, the researcher remains open to new opportunities and insights. The case study method, with its use of multiple data collection methods and analysis techniques, provides researchers with opportunities to triangulate data in order to strengthen the research findings and conclusions.
The tactics used in analysis force researchers to move beyond initial impressions to improve the likelihood of accurate and reliable findings. Exemplary case studies will deliberately sort the data in many different ways to expose or create new insights and will deliberately look for conflicting data to disconfirm the analysis. Researchers categorize, tabulate, and recombine data to address the initial propositions or purpose of the study, and conduct cross-checks of facts and discrepancies in accounts. Focused, short, repeat interviews may be necessary to gather additional data to verify key observations or check a fact.
Specific techniques include placing information into arrays, creating matrices of categories, creating flow charts or other displays, and tabulating frequency of events. Researchers use the quantitative data that has been collected to corroborate and support the qualitative data which is most useful for understanding the rationale or theory underlying relationships. Another technique is to use multiple investigators to gain the advantage provided when a variety of perspectives and insights examine the data and the patterns. When the multiple observations converge, confidence in the findings increases. Conflicting perceptions, on the other hand, cause the researchers to pry more deeply.
Another technique, the cross-case search for patterns, keeps investigators from reaching premature conclusions by requiring that investigators look at the data in many different ways. Cross-case analysis divides the data by type across all cases investigated. One researcher then examines the data of that type thoroughly. When a pattern from one data type is corroborated by the evidence from another, the finding is stronger. When evidence conflicts, deeper probing of the differences is necessary to identify the cause or source of conflict. In all cases, the researcher treats the evidence fairly to produce analytic conclusions answering the original "how" and "why" research questions.
Step 6. Prepare the report
Exemplary case studies report the data in a way that transforms a complex issue into one that can be understood, allowing the reader to question and examine the study and reach an understanding independent of the researcher. The goal of the written report is to portray a complex problem in a way that conveys a vicarious experience to the reader. Case studies present data in very publicly accessible ways and may lead the reader to apply the experience in his or her own real-life situation. Researchers pay particular attention to displaying sufficient evidence to gain the reader�s confidence that all avenues have been explored, clearly communicating the boundaries of the case, and giving special attention to conflicting propositions.
Techniques for composing the report can include handling each case as a separate chapter or treating the case as a chronological recounting. Some researchers report the case study as a story. During the report preparation process, researchers critically examine the document looking for ways the report is incomplete. The researcher uses representative audience groups to review and comment on the draft document. Based on the comments, the researcher rewrites and makes revisions. Some case study researchers suggest that the document review audience include a journalist and some suggest that the documents should be reviewed by the participants in the study.
Applying the Case Study Method to an Electronic Community Network
By way of example, we apply these six steps to an example study of multiple participants in an electronic community network. All participants are non-profit organizations which have chosen an electronic community network on the World Wide Web as a method of delivering information to the public. The case study method is applicable to this set of users because it can be used to examine the issue of whether or not the electronic community network is beneficial in some way to the organization and what those benefits might be.
Step 1. Determine and Define the Research Questions
In general, electronic community networks have three distinct types of users, each one a good candidate for case study research. The three groups of users include people around the world who use the electronic community network, the non-profit organizations using the electronic community network to provide information to potential users of their services, and the "community" that forms as the result of interacting with other participants on the electronic community network.
In this case, the researcher is primarily interested in determining whether or not the electronic community network is beneficial in some way to non-profit organization participants. The researcher begins with a review of the literature to determine what prior studies have determined about this issue and uses the literature to define the following questions for the study of the non-profit organizations providing information to the electronic community network:
Why do non-profit organization participants use the network?
How do non-profit organization participants determine what to place on the electronic community network?
Do the non-profit organization participants believe the community network serves a useful purpose in furthering their mission? How?
Step 2. Select the Cases and Determine Data Gathering and Analysis Techniques
Many communities have constructed electronic community networks on the World Wide Web. At the outset of the design phase, the researcher determines that only one of these networks will be studied and further sets the study boundaries to include only some of the non-profit organizations represented on that one network. The researcher contacts the Board of Directors of the community network, who are open to the idea of the case study. The researcher also gathers computer generated log data from the network and, using this data, determines that an in-depth study of representative organizations from four categories -- health care, environmental, education, and religious -- is feasible. The investigator applies additional selection criteria so that an urban-based and a rural-based non-profit are represented in the study in order to examine whether urban non-profits perceive more benefits from community networks than rural organizations.
The researcher considers multiple sources of data for this study and selects document examination, the gathering and study of organizational documents such as administrative reports, agendas, letters, minutes, and news clippings for each of the organizations. In this case, the investigator decides to also conduct open-ended interviews with key members of each organization using a check-list to guide interviewers during the interview process so that uniformity and consistency can be assured in the data, which could include facts, opinions, and unexpected insights. In this case study, the researcher cannot employ direct observation as a tool because some of the organizations involved have no office and meet infrequently to conduct business directly related to the electronic community network. The researcher instead decides to survey all Board members of the selected organizations using a questionnaire as a third data gathering tool. Within-case and cross-case analysis of data are selected as analysis techniques.
Step 3. Prepare to Collect the Data
The researcher prepares to collect data by first contacting each organization to be studied to gain their cooperation, explain the purpose of the study, and assemble key contact information. Since data to be collected and examined includes organizational documents, the researcher states his intent to request copies of these documents, and plans for storage, classification, and retrieval of these items, as well as the interview and survey data. The researcher develops a formal investigator training program to include seminar topics on non-profit organizations and their structures in each of the four categories selected for this study. The training program also includes practice sessions in conducting open-ended interviews and documenting sources, suggested field notes formats, and a detailed explanation of the purpose of the case study. The researcher selects a fifth case as a pilot case, and the investigators apply the data gathering tools to the pilot case to determine whether the planned timeline is feasible and whether or not the interview and survey questions are appropriate and effective. Based on the results of the pilot, the researcher makes adjustments and assigns investigators particular cases which become their area of expertise in the evaluation and analysis of the data.
Step 4. Collect Data in the Field
Investigators first arrange to visit with the Board of Directors of each non-profit organization as a group and ask for copies of the organization�s mission, news clippings, brochures, and any other written material describing the organization and its purpose. The investigator reviews the purpose of the study with the entire Board, schedules individual interview times with as many Board members as can cooperate, confirms key contact data, and requests that all Board members respond to the written survey which will be mailed later.
Investigators take written notes during the interview and record field notes after the interview is completed. The interviews, although open-ended, are structured around the research questions defined at the start of the case study.
Research Question: Why do non-profit organization participants use the network?
Interview Questions: How did the organization make the decision to place data on the World Wide Web community network? What need was the organization hoping to fulfill?
Research Question: How do non-profit organization participants determine what to place on the electronic community network?
Interview Questions: What process was used to select the information that would be used on the network? How is the information kept up to date?
Research Question: Do the non-profit organization participants believe the community network serves a useful purpose in furthering their mission? How?
Interview Questions: How does the organization know if the electronic community network is beneficial to the organization? How does the electronic community network further the mission of the organization? What systematic tracking mechanisms exist to determine how many or what types of users are accessing the organization information?
The investigator�s field notes record impressions and questions that might assist with the interpretation of the interview data. The investigator makes note of stories told during open-ended interviews and flags them for potential use in the final report. Data is entered into the database.
The researcher mails written surveys to all Board members with a requested return date and a stamped return envelope. Once the surveys are returned, the researcher codes and enters the data into the database so that it can be used independently as well as integrated when the case study progresses to the point of cross-case examination of data for all four cases.
Step 5. Evaluate and Analyze the Data
Within-case analysis is the first analysis technique used with each non-profit organization under study. The assigned investigator studies each organization�s written documentation and survey response data as a separate case to identify unique patterns within the data for that single organization. Individual investigators prepare detailed case study write-ups for each organization, categorizing interview questions and answers and examining the data for within-group similarities and differences.
Cross-case analysis follows. Investigators examine pairs of cases, categorizing the similarities and differences in each pair. Investigators then examine similar pairs for differences, and dissimilar pairs for similarities. As patterns begin to emerge, certain evidence may stand out as being in conflict with the patterns. In those cases, the investigator conducts follow-up focused interviews to confirm or correct the initial data in order to tie the evidence to the findings and to state relationships in answer to the research questions.
Step 6 Prepare the Report
The outline of the report includes thanking all of the participants, stating the problem, listing the research questions, describing the methods used to conduct the research and any potential flaws in the method used, explaining the data gathering and analysis techniques used, and concluding with the answers to the questions and suggestions for further research. Key features of the report include a retelling of specific stories related to the successes or disappointments experienced by the organizations that were conveyed during data collection, and answers or comments illuminating issues directly related to the research questions. The researcher develops each issue using quotations or other details from the data collected, and points out the triangulation of data where applicable. The report also includes confirming and conflicting findings from literature reviews. The report conclusion makes assertions and suggestions for further research activity, so that another researcher may apply these techniques to another electronic community network and its participants to determine whether similar findings are identifiable in other communities. Final report distribution includes all participants.
Applicability to Library and Information Science
Case study research, with its applicability across many disciplines, is an appropriate methodology to use in library studies. In Library and Information Science, case study research has been used to study reasons why library school programs close (Paris, 1988), to examine reference service practices in university library settings (Lawson, 1971), and to examine how questions are negotiated between customers and librarians (Taylor, 1967). Much of the research is focused exclusively on the librarian as the object or the customer as the object. Researchers could use the case study method to further study the role of the librarian in implementing specific models of service. For example, case study research could examine how information-seeking behavior in public libraries compares with information-seeking behavior in places other than libraries, to conduct in-depth studies of non-library community based information services to compare with library based community information services, and to study community networks based in libraries.
Conclusion
Case studies are complex because they generally involve multiple sources of data, may include multiple cases within a study, and produce large amounts of data for analysis. Researchers from many disciplines use the case study method to build upon theory, to produce new theory, to dispute or challenge theory, to explain a situation, to provide a basis to apply solutions to situations, to explore, or to describe an object or phenomenon. The advantages of the case study method are its applicability to real-life, contemporary, human situations and its public accessibility through written reports. Case study results relate directly to the common reader�s everyday experience and facilitate an understanding of complex real-life situations.
Bibliography
Busha, C. H., & Harter, S. P. (1980). Research methods in librarianship, techniques and interpretation. New York: Academic Press.
Chang, H. C. (1974). Library goals as responses to structural milieu requirements: A comparative case study. Unpublished doctoral dissertation, University of Massachusetts, Amherst.
DuMont, R. R. (1975). The large urban public library as an agency of social reform, 1890-1915. Unpublished doctoral dissertation, University of Pittsburgh, Pennsylvania.
Eisenhardt, K. M. (1989). Building theories from case study research. Academy of Management Review, 14(4), 352-550.
Emory, C. W., & Cooper, D. R. (1991). Business research methods. (4th ed.). Boston, MA: Irvin.
Goldhor, H. (1972). An introduction to scientific research in librarianship. Urbana, IL: University of Illinois.
Hamel, J. (with Dufour, S., & Fortin, D.). (1993). Case study methods. Newbury Park, CA: Sage.
Harris, S., & Sutton, R. (1986). Functions of parting ceremonies in dying organizations. Academy of Management Journal, 19, 5-30.
Lawson, V. (1971). Reference service in university libraries, two case studies. Unpublished doctoral dissertation, Columbia University, New York.
McAdams, D. C. (1979). Powerful actors in public land use decision making processes: A case study in Austin, Texas. Unpublished doctoral dissertation, University of Texas, Austin.
McClure, C. R., & Hernon, P. (Eds.). (1991). Library and information science research: perspectives and strategies for improvement. Norwood, NJ: Ablex.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1984). Qualitative data analysis: A sourcebook of new methods. Beverly Hills, CA: Sage.
Miller, F. (1986). Use, appraisal, and research: A case study of social history. The American Archivist: 49(4), 371-392.
Paris, M. (1988). Library school closings: Four case studies. Metuchen, NJ: Scarecrow Press.
Patton, M. Q. (1980). Qualitative evaluation methods. Beverly Hills, CA: Sage.
Powell, R. R. (1985). Basic research methods for librarians. Norwood, NJ: Ablex.
Schindler, D. (1996). Urban youth and the frail elderly: Reciprocal giving and receiving. New York: Garland.
Simons, H. (1980). Towards a science of the singular: Essays about case study in educational research and evaluation. Norwich, UK: University of East Anglia, Centre for Applied Research in Education.
Stake, R. E. (1995). The art of case study research. Thousand Oaks, CA: Sage.
Swisher, R., & McClure, C. R. (1984). Research for decision making, methods for librarians. Chicago: American Library Association.
Taylor, R. S. (1967). Question-negotiation and information-seeking in libraries. Bethlehem, PA: Center for the Information Sciences.
U.S. Department of Education. (1988). Rethinking the library in the information age: Issues in library research: proposals for the 1990s. Volume II. Washington, DC.
Weiss, C.H., & Bucuvala, M. J. (1980). Social science research and decision-making. New York: Columbia University Press.
Wholey, J. S., Hatry, H. P., & Newcomer, K. E. (Eds.). (1994). Handbook of practical program evaluation. San Francisco: Jossey-Bass.
Yin, R. K. (1984). Case study research: Design and methods. Newbury Park, CA: Sage.
.

Return to Table of Contents

This page is created and maintained by Sue Soy ssoy@ischool.utexas.edu
Last Updated 02/12/2006
© Copyright 1996 Susan K. Soy
Please feel free to copy and distribute freely for academic purposes with attribution.
Cite as: Soy, Susan K. (1997). The case study as a research method. Unpublished paper, University of Texas at Austin.
Read More..